Pendidikan #Orangutan

Sore menjelang. Pada meja kuliner yang hampa. Akhmad Wijaya atau @taman_galih berceloteh tentang morfologi farmakologi hutan. Satu cabang ilmu ngawurologi yang menempatkan pendekatan morfologi atau bentuk fisik, warna dan kenampakan tumbuhan terhadap pengiraan faedah penyembuhan yang dapat diberikannya. Ada ciri atau pola yang dapat ditemukan dari tetumbuhan, untuk kemudian menemukan manfaat yang mungkin dikandungnya.

Disitu bedanya penemu dan peneliti”, ujarnya. “Peneliti hanya mencoba membuktikan secara saintifik kandungan kimia, yang berdampak pada faedah kesehatan bagi manusia. Tentunya berdasarkan pengalaman ataupun cerita dari orang lain. Penemu adalah menemukan yang belum menjadi pengalaman ataupun pengetahun manusia.

Ada banyak cara untuk bisa menemukan. Mulai dari mempelajari pola, hingga belajar pada hidupan lain. Pendekatan ini yang tidak pernah dilakukan oleh para peneliti tumbuhan obat, yang kemudian diaku sebagai penemu.

Contoh sederhana, menurut Amay Jaya, selama ini kita hanya diberikan wacana bahwa orangutan itu penting karena ia menjadi penyebar jenis. Padahal, pada orangutan akan banyak menemukan pembelajaran yang akan bermanfaat bagi peradaban manusia.

Misalnya saja, seorang peneliti orangutan di sebuah taman nasional, hanya memberikan perintah bagi asisten penelitinya untuk memvideokan dan mencatat perilaku orangutan. Tanpa ada perintah lain selanjutnya. Namun setelah itu, ada tetumbuhan yang dipelajari, yang berasal dari perilaku orangutan.

Lanjutnya, pasca bersenggama, orangutan, baik jantan ataupun betina, langsung turun ke bawah pohon dan memakan tetumbuhan tertentu. “itu untuk pemulihan stamina”, ujar Amay. Pun ketika sedang tidak ingin hamil, orangutan akan memakan jenis tetumbuhan tertentu, “itulah kontrasepsi ala orangutan”.

Dan ketika orangutan sedang merawat anak, mereka memberikan pendidikan pada anak-anaknya, dan tidak hamil lagi pada periode tahunan, karena induk orangutan ingin memastikan anaknya telah memperoleh pembelajaran jenis pakan yang penting bagi mereka. Ada proses “sekolah” bagi anak orangutan.

Tentunya masih banyak lagi pembelajaran yang bisa diambil dari beragam satwa. “Itulah makna satwa bagi manusia”, ujarnya. Hanya para pengkampanye konservasi satwa selama ini telah gagal menempatkan upaya pelestarian satwa dalam peradaban kehidupan manusia. Hingga kemudian terjadi pertentangan antara ekofasis dan kelompok lainnya.

Jadi, membiarkan satwa tetap bisa bertumbuh baik di alam, adalah bukan karena mereka penting hanya sekedar sebagai penebar biji, yang bisa digantikan oleh teknologi kekinian, namun lebih jauh dari itu, keberadaan satwa dan tetumbuhan serta ekosistemnya, merupakan bangunan peradaban dan sumber pengetahuan bagi kehidupan manusia dalam jangka panjang.

Dan tentunya, masih ada spesies satwa yang lebih baik dijadikan sebagai satwa ternak agar tetap berkelanjutan dan menjadi pengetahuan baru bagi manusia, seperti payau, dan para pembuat keputusan perlindungan satwa dapat membaca ulang metodologi perlindungan, proteksi maupun konservasi serta pemanfaatan satwa dan tetumbuhan tersebut.

Ini kabarnya hari pendidikan. Bagaimana pun proses belajar tak semata berada pada kotak sempit bernama kelas. kehidupan sosial dan kehidupan alam merupakan bagian terbesar dari proses pendidikan. Dan tentunya, memposisikan sekolah dan kampus kembali pada metodologi pendidikan yang benar adalah mimpi dari mereka yang memposisikan setiap tanggal 2 Mei sebagai hari yang mengingatkan pendidikan. #entahlah

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: