#BanjirSmr
Sudah lama tagar #BanjirSmr tidak muncul di twitland. Ya, karena banjir sudah terlalu lama tidak ada menghampiri kota ini. Mungkin pula perdebatan antara penggunaan kata ‘banjir’ dan kata ‘genangan’ terlalu lama tak beredar, dan kini itu akan kembali hadir. Kota yang ada di dalam rinjing ini masih belum mampu menuntaskan seri pembelajarannya. Sebagian besar program pemerintah masih sangat mengangkasa, tanpa pernah berpikir sebuah investasi kepemimpinan jangka panjang.
Namun, tak jua boleh berkecil hati. Sudah mulai bermunculan inisiatif-inisiatif individu yang berupaya mengubah wajah kota ini. Walau kemudian, banyak pelayan publik yang mencoba untuk berbuat seolah, dengan terlibat dalam gerakan yang diinisiatifkan oleh individu. Dan tak ada yang salah dengan itu, karena memang warga kota ini butuh panutan ataupun teladan. Karena pemimpin kotanya, walau sudah berujar “jangan lagi buang sampah di sungai lah”, tetap juga tak memberikan impak apa-apa kepada warganya.
Sebagaimana sebuah kota dalam rinjing, kota ini masih penuh dengan beragam jenis pelicinnya. Pun terhadap beragam bumbu yang berupaya menyedapkannya. Sementara, tak sedikitpun ada upaya untuk bertanya kepada warganya “apa menu hari ini?”. Apalagi untuk segera mengajak warga agar bersama-sama menyusun menu dan memasak bersama menu yang akan disajikan hari ini.
Gagasan @TamanBercerita, yang lahir dari sebuah ketertutupan ruang aspirasi publik, sebenarnya hanya ingin memberikan cahaya pada lembar-lembar yang ditutupkan pada sistem perencanaan pembangunan wilayah. Artinya, tanpa ada inovasi yang dibangun pun, selayaknya pelayan publik membangun inovasi tersebut, dan tak perlu berpikir bahwa saat ini belum mampu menggelar proses pembangunan, karena kebodohan cara mengelola keuangan daerah.
Sungguh berat menjadi pemimpin kota, namun masih terlalu banyak yang berharap menjadinya. Bahkan dengan menguras kocek hingga bagian yang terdalam. Ada ruang nyaman di dalamnya, yang kemudian menjadikan ini seperti memasuki labirin pandora. Berharap nomor togel akan keluar dengan tepat, sambil sesekali menyeruput tetesan kopi terakhir di gelas tak bertangkai.
Ketika bertemu dengan pelayan publik urusan bencana pun ternyata tak mudah untuk mengajak untuk membangun model yang berbeda dalam mengelola informasi bencana. “Kami sudah punya ini dan itu”, lalu kemudian dengan bangga dan berkumandang menyatakan telah siap segalanya. Berharap pada segelintir pasukan yang selama ini dibawah komando, lalu menganggap segala persoalan telah mampu diselesaikan.
Ya, dimaklumkan saja. Pelayan publik memang haus untuk dipuji. Mereka butuh eksistensi personal yang dibiayai oleh negara. Bukan dalam semangat memperkuat warga, apalagi untuk memberikan ruh jabatannya pada kesejahteraan dan kebahagiaan warga. Padahal cukup sebuah langkah sederhana agar bisa lebih dapat cepat menumpuk pahala kehidupan. Tak perlu memperindah rumah ibadah di sekitar permukiman kumuh. Tak perlu melapiskan emas di sekitar mereka yang berlapar-lapar. Apalagi untuk terus mengeruk kepingemas yang menghadirkan pemusnahan sumber pangan. Datang, duduk, dengar, diskusi, dan lakukan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
Selalu ada ruang untuk berbagi. Selalu ada wadah untuk ditempati. Selalu ada perjalanan yang dihentikan. #BanjirSmr hanyalah sebuah tagar yang tak terlalu penting karena hanya akan menjadi sebuah catatan perjalanan peradaban. Menikmati gerimis pagi setelah berbulan-bulan panas menggantang, menjadikan semut-semut mulai kembali menata ruang penyimpanannya. Selamat menikmati banjir, selamat menikmati genangan. Mari tidur kembali dan bermimpi yang membasahkan.
Leave a Reply