Bebas Berekspresi
Berikut hanyalah catatan dari sebuah obrolan dalam peluncuran sebuah buku Jaringan Akademisi Kebebasan Berekspresi di Indonesia. Tidak untuk dikutip. Kalau tidak sama dengan yang dikatakan, bisa terjadi karena kesalahan dalam mendengarkan, bukan karena kesalahan pengetikan.
“Walaupun Indonesia merupakan negara demokrasi, namun masih ada pembatasan. Feeedom of expression merupakan hal yang penting untuk dibahas dan kembangkan” Sito, Google Indonesia
“dalam rumusan tindak pidana pencemaran nama baik sangat tidak jelas, berbeda dengan pasal 310KUHP, dimana baru bisa dikenakan bila sudah menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan. Juga soal ancaman tindakan pidana dalam UU ITE yang menyebabkan seseorang bsia ditahan, sedangkan KUHP masuk dalam Tindakan Pidana Ringan. Draft revisi UU ITE, sepertinya pemerintahan hanya setengah hati melakukan revisi, padahal yang diinginkan adlaah tidak ada lagi ancaman pidana dalam UU ITE, cukup di KUHP saja. Dan dalam masyarakan beradab, harusnya tidak ada pidana terhadap kebebasan berekspresi, kerusakan yang diakibatkan pencemaran nama baik, bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya dengan hukuman meminta maaf,” Shinta Agustina.
“dalam UU 40/1999, tidak ada lgi sensor, bredel dan larangan perizinan, tapi realitasny tidak seperti yng dibayangkan, lalu lahir semacam kriminalisasi yang berlangsung secara terus menerus. Kasus yang menjadi tonggak adalah Keputusan MA di tahun 2005, yang menghentikan pemidanaan terhadap pers, dan secara bersamaan lahir gugatan yang semakin tidak proporsional, seperti wartawan menulis investigatf dan digugat pencemaran nama baik. Salah satu kesimpulan yang penting, adalah sekaligus cepakanya, di pendidikan hukum masih diajarkan mata kuliah tindak pidana pers atau delik pers, padahal secara yurisprudensi sudah ditinggalkan” Herlambang
“Perlindungan data privasi berjalan seiring teknologi informasi, karena data pribadi dapat diakses siapa saja, sehingga harus diperhatikan seiringan dengan perkembangan eCommerce, eGoverment, dll, khususnya oleh pemerintah. Privasi sudah diatur hukum internasional dan Indonesia sudah turut, demikian halnya perlindungan data, terutama rezim AS dan Uni Eropa, lalu Indonesia berada dimana? ” Shita Rosadi “Secara tidak sadar kita telah memberikan data-data pribadi tanpa tahu dipergunakan oleh apa”.
“Surveillance tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh korporasi dan individu. Ini sangat rentan dengan privasi kita, sementara kita tidak ada UU Perlindungan Data Pribadi. Contoh sederhana, ketika masuk hotel atau mall tertentu, lamgsung memperoleh penawaran, bagaimana korporasi tau keberadaan anda, ini sudah mengganggu. Praktek surveillance sudah sangat masif terjadi” Masitoh Indriani.
“Elsam menulis tentang Cyber Security, tata kelola internet, hate speech” Wahyudi Djafar
“kenapa kebebasan berekspresi semakin menurun, seperti pemutaran Film Buru kemaren. Ada beberapa hal yang harus membuat berpikir jernih, karena begitu kompleks dan bisa tersesat. FoE memiliki tantangan yang begitu kompleks karena mediumnya, dengan internet, bahkn mendobrak tantangan lama, sehingga semua kita tergopoh-gopoh. karena melampaui batas, kedaulatan negara, sampai ke ruang pribadi. Yang palig bahaya adalah kalau pengambil kebijakan tergopoh-gopoh. Kedua, dari sisi messagenya. Negara kita begitu plural, sehingga dari sisi pesan yang disampaikan juga begitu plural. itu tantangan terbesar, dari sisi mesage dan medium.” Roy Chatul Aswidah, Komnas HAM “Kembali kepada pembatsan sederhana di dalam HAM. Yang bisa membatasi adalah respect of the rights or reputation of others. Yang sering digunakan adalah alasan ketertiban umum, punlic heatlh, utamanya moralitas. batas bawah FoE adalah hate speech dan permusuhan…. (?). Kembali pada kaidah sederhana dan kaidah fundamental FoE”
“buku ini membuka mata kita betapa masih banyaknya agenda kita sebagai bangsa, meskipun sejak 1999 kita sudah memasuki sistem demokrasi. Saya mencatat mengapa kebebasan berekspresi masih sukar, pertama bahwa lebih dari lima belasntahun, fokus kita pada reformasi instiitusional, sehingga yang berlangsung adalah demokrasi yang sangat prosedural. partai politik ada, tapi bukan sungguh-sungguh partai, sehingga elemen otoriter tumbuh kembali, karena belum ada perubahan cara pandang atau cara berpikir dan belum ada perubahan kultur kekuasaan, bahwa kekuasaan itu harusnya melayani, pemerintah harusnya memfasilitasi. Tapi yang saksikan dalam semua level kekuasaan masih menindas, kooptasi, dan berpiihak pada kekuasaan itu sendiri. Pemerintah masih belum berubah. Kita butuh Jokowi atau Ahok yang lebih banyak. Yang belum kunjung berubah asalah pola hubungan negara dan masyarakat. Negara masih memandang sebagai sumber konflik atau sumber maslaah. Setiap saat masyarakat diintimidasi atau dimata-matai.”. Prof Samsudin Haris “esensinya adalah sejak militer masuk politik tahun 1950an, situasinya berubah hubungan antara negara dan masyarakat, yang brrlangsung kemudian adalah penciptaan suasana dan situasi adalah saling curiga dan saling tidak percaya antar golongan masyarakat. apa yang bisa dilakukan? mengkonsolidasikan berbagai elemen civil society, tanpa itu kita berada dalam penindasan kekuasaan yang tidak berubah.”
“Kegiatan kebebasan berekspresi berhasil atau tidak, tergantung pada kontrks, level, tokoh dan tema. Di level kontekstual setiap level menerima, namun di pelaksanaannya muncul perbedaan persepsi dan menjadi hambatan. Tokoh yang ada dalam kegiatan juga berpengaruh, dan leadership kelembagaan dan kehadiran figur publik memperbesar kans pelaksanaan. Sebagian berekspresi itu adalah bagaimana menggalang kekuatan dan saling mengintimidasi. Tema yang menyentuh kepentingan agama lebih mengundang hambatan. Dan ketika sudah dilepaskan ke khalayak melalui media sosial, akan menimbulkan reaksi dan hambatan. Media sosial menjadi penting untuk diperhatikan. Dari buku, di media mainstream merupakan problem kebebasan berekspresi, kalau media sosial adalah problem menyesatkan orang. Yang terjadi di media sosial adalah banyak racunnya, yang juga disetujui politisi. Problem lain adalah tentang wartawannya, wartawan menjadi aktor penting dlaam FoE, karena juga bisa menjadi korban, atau juga menyesatkan. Truth in the making, dalam media online bisa membagi fakta, dan sudah ada Panduan Media Online, sehingga harusnya menjadi satu berita. sehingga kebebasan untik menyesatkan menjadi hal yang perlu dibahas sendiri. Konteks Kebebasan Berekspresi: sumbu ekspresi: dapat diterima dan tidak diterima (socially acceptable) dan sumbu Kolektivitas dan Individualisme, ” Kuskridho Ambardi
“Kebebasan berekspresi bukan hidup dalam ruang yang kosong, tapi hidup dalam situasi politik, hukum dan kehidupan sosial tertentu. Pada saat ini, Kita hidup di dunia yang saling terhubunng satu dengan lain dalam saat itu juga, kita hidup dalam ruang yang tidak terbatas dan tidak berjarak. Batasan kebebasan berekspresi itu apa? ini diatur dalam konvenan hak sipol. dan yng dikategorikan kebencian adalah penistaan yang berbasiskan SARA. Indonesia bagaimana? sebagian menyatakan bahwa basisnya Pancasila. Pancasila tidak lagi menjadi ideologi yang bisa menjadi penuntun, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Dari kondisi masyarakat, ada nilai yang berubah dlaam melihat relasi sosial dan relasi negara dan masyarakat. Untuk kasus tertentu, mungkin bisa tidka mempidanakan kasus pencemaran nama baik. Namun pada kasus lain, bisa jadi tidak. Ujaran kebencian bukan hanya soal relasi yang bisa dimaknai selesai dengan permintaan maaf, tapi ada implikasi yang menyebabkan sosial seseorang itu berubah. Artinya apakah hukum bisa menjelaskan dan menjawab ini yang sangat kompleks dan sangat situasional. Ketika bicara hukum, bicara tentang bagaimana hukum dibuat dan penegak hukumnya. Jokowi menyebutkan 3000 ribu perda diskriminasi harus dicabut, artinya ada problem bagaimana hukum dibuat. Ada yang luput dalam pembicaraan pemerintahan, kita lupa bicara birokrasi, mesin inilah yang selalu ajeb, dan kita memakai mesin yang sama. Pemimpin dan kebijakan bisa berganti, tapi mesinnya masih sama. Mindset kita belum terbebaskan dari trauma dlaam menjalankan kehidupan bernegara. Bagaimana mereduksinya? Era Jokowi adalah era dimana masyarakat sipil mungkin terlibat dalam pemerintahan itu. Sekarang adlah masa untuk mengubah itu. Birokrasi juga entitas yang heterogen. Ini perubahan yang berat. Berjejaring adlah suatu keharusan dan bisa menguatkan dan mempercepat perubahan itu sendiri. Hukum kadangkala lambat merespon kebutuhan saat ini. Kita bicara cyber security, kita bicara media yang menjangkau lebih luas. Undang-undang kadang kala terlambat merespon. ” Jaleswari Pramodhawardani
Leave a Reply