belajar membelajarkan
“Apakah diperbolehkan mereka menggunakan gadget dan laptop selama di kelas?” Bisa jadi jawabnya adalah tidak, karena dipandang dengan adanya gadget dan laptop di depan, maka laman-laman media sosial atau permainan digital-lah yang diperhatikan. Pembelajar selalu dipandang negatif, karena bisa jadi generasi pengajar adalah generasi yang negatif. Ketika dahulu dalam riwayat belajarnya melakukan tindakan abai terhadap pembelajaran, maka ketika mengajarkan pun akan diikuti dengan gambaran yang serupa, dan itu yang kemudian ditransformasikan ke pembelajarnya.
“Kelasnya terlalu tutorial, kami hanya disuruh mengikuti langkah-langkah“. Bisa jadi dijawabnya dengan kalimat ini, karena memang tutorial tak perlu dibelajarkan. Cukup diserahkan tutorialnya, maka proses pembelajaran sudah berlangsung. Lalu mengapa harus tutorial? Bisa jadi karena dahulu juga dilakukan hal yang serupa. Hingga kemudian, akan melahirkan generasi tutorial, yang akan selalu bertanya, “Apa kisi-kisinya?” “Apa yang harus dilakukan?” “Apa langkah-langkahnya?“. Akan sangat jarang melahirkan pertanyaan “Mengapa bisa seperti itu?” “Bagaimana kemungkinan alternatifnya?”. Memang sih, sampai generasi strata-1, generasi yang dilahirkan hanya sampai bertanya, Apa-Siapa-Oleh siapa-Kapan-Dimana, belum tiba pada, Mengapa-Bagaimana.
“Pengajar harus selalu benar“. Material kalimat ini sudah ditanamkan sejak pertama kali bangku sekolahan dimakan. Hingga pada tingkatan yang lebih tinggi, selalu meyakini apa yang dibelajarkan adalah sebuah kebenaran tunggal. Ketika kemudian pembelajar mencoba mengeksplorasi dengan cara berbeda, lalu kemudian “Silahkan keluar ruangan“. Beginilah generasi pembelajar dibangun. Kebenaran hanya satu, sisanya adalah kebohongan. Tak pernah dibelajarkan, “Temukan kebenaran berdasarkan informasi dan pengetahuan yang dimiliki“.
“Sudah berhenti membelajar?” Ya. Saia harus berhenti membelajarkan. Terlalu rusak bisnis pendidikan hari ini. Sebuah bisnis tanpa rencana bisnis, dan tanpa sebuah pengakuan bahwa telah melakukan sebuah proses yang sangat jauh dari visi dan misi yang tertuang dalam kertas-kertas yang disampaikan pada pelayan publik. Membangun ruang belajar di luar ruang pendidikan formal, menjadi sebuah pilihan yang bisa jadi tidak lebih baik. Namun, setidaknya tak akan terbebankan dengan rel yang tak memiliki arah yang dituju.
“Lalu bagaimana dengan mimpi?“. Mimpi akan tetap ada, menjadi penyemangat sisa hari. Mimpi tak perlu dirawat, ataupun diruwat. Toh, hampir sebagian pemimpi hanya akan hidup dalam mimpinya, tanpa pernah berupaya menyeberangkan mimpinya. Biarkanlah mimpi berada dalam mimpi, dan tak perlu mengkhawatirkannya, karena ia akan baik-baik saja.
“Dan bagaimana mengubah?“. Tak ada yang perlu diubah. Karena hampir setiap pelaku pengubahan hanyalah seonggok pekerja pengubahan. Hanya berharap dan menantikan pesan singkat di akhir bulan. Lalu semua berupaya menyerahkan pengubahan akan terjadi padanya? Tak perlulah, sebab selalu ada jalan yang mengarahkan pengubahan. Dan kembalilah pada menjalankan hari, dengan menikmatkan apa yang bisa dinikmati. Biarkanlah mereka bekerja untuk pengubahan yang masih dalam mimpi itu.
*kabarnya hari ini hari guru, entahlah apa guru itu*
Leave a Reply