bergerak dalam hening
“aksi-aksi itu sekarang hanya menjadi panggung selfie“. Ya, mungkin ini kejenuhan saya. Kegagalan untuk menemukan arah perubahan yang diharapkan. Ketika sebagian parade yang dilakukan, hanyalah berakhir pada sebuah parade. Setelah itu, melupakan apa yang baru dilakukan. Amnesia. Sehingga kemudian pada tindak keseharian, kembali pada default.
Selalu ada jalan baru untuk mendorong lahirnya sebuah perubahan. Pengisian pengetahuan dan kapasitas, yang harusnya dapat terus bergulir, menjadi jantung dari sebuah perubahan. Lalu bagian inilah yang kemudian kerap ditinggalkan. Hanya pada sebuah diskusi teknis, tak lagi bicara pada substansi. Seolah kemudian, berbincang subtansi hanyalah membuang-buang energi, tanpa hasil, dan tak memberikan makna apa-apa. Lalu kemudian, yang teknis menjadi sangat kering kerontang, tanpa makna.
Lalu kemana arah perubahan yang diharapkan? Bersandar pada pepohonan di depan sebuah gedung yang diharapkan melakukan perubahan? Atau berada pada foto-foto selfie yang tak bermakna? Atau pada celoteh-celoteh yang tak terdengar, tersapu riuhnya kendaraan yang semakin melupakan? Atau sekadar tampil pada lembar-lembar media yang kemudian menjadi bungkus nasi kuning?
“Tidak, yang penting lawan“. Garis keras selalu menghujamkan kata-kata tanpa makna. Berkicau pada ruang yang hampa. Tak menggelitik pun. Lalu bagaimana mampu untuk menghancurkan nadi utama agar tak lagi ada aliran darah segar yang terus menggelorakan ketidakbaikan? Hanya menjadi lahan tanding, bisa jadi sebuah pilihan. Lalu kemudian tak lagi berasa, dan kemudian dilupakan, ketika energi pun sudah terkuras usai.
Kemaren-kemaren saya dibelajarkan pada bahwa tak ada keabadian, selain perubahan itu sendiri. Lalu cara-cara mendorong perubahan pun tak pernah mengalami perubahan. Dan kemudian ketika memilih jalan baru, yang berubah dari cara lama, dipandang sebuah jalan yang tak sesuai. Lalu apa makna bacaan yang berlembar-lembar dan selalu tersimpan pada tas yang diselempangkan itu?
Bergerak dalam keheningan menjadi pilihan. Menebarkan virus-virus pada ruang hampa, yang terus mengganda, yang pada waktunya menjadi katalis menuju akhir perjalanan. Tetap berada pada pilihan-pilihan baru, perlahan menginfusi nadi, dan kemudian menjadi daya ledak berbeda. Perlahan, tanpa perlu untuk berbincang langsung, tak perlu untuk menjadi dikenal maupun dikenang. Tujuan jauh lebih utama. Biarlah kemudian waktu mencatatkannya dengan tinta yang tak terbacakan.
Ini ada sebuah telaga yang berwarna hijau membiru. Masih cukup ruang untuk bercermin dan mendengarkan gema suara yang diteriakkan. Eksistensi diri pasti akan membelenggu dan menurunkan tirai hingga tak mampu melihat dengan jelas lagi. Kepuasan semata ketika ada yang memperbincangkannya. Dalam hening, sel-sel terus membelah diri.
Leave a Reply