Bisnis Pendidikan
Tak bisa disingkirkan lagi asumsi bahwa pendidikan hari ini adalah sebuah bisnis. Maka pun ketika bangunan pendidikan didirikan, cara pandangnya adalah bagaimana kemudian bisa menumpuk keuntungan. Indikator yang diletakkan bukan lagi pada kualitas lulusan, yang tentunya bisa memberikan efek jangka panjang terhadap ekonomi.
Ketika mencoba membaca gagasan ekonomi berbagi dari Benita Matofska (http://www.thepeoplewhoshare.com/…/what-is-the-sharing-eco…/). Ada 10 blok utama di dalam bangunan ekonomi berbagi. Ada peer-to-peer dalam rantai produksi, dimana hak asasi menjadi safeguards, Produksi dilakukan oleh siapa saja, dengan lingkungan hidup dan tanggung jawab sosial sebagai safeguards, value dan pertukaran ekonomi tak semata dilihat dari nilai ekonomi namun juga nilai sosial dan lingkungan hidup, proses distribusi dan redistribusi dilakukan dengan keberadilan yang efisien, penyelamatan planet menjadi inti perputarannya, menguatkan distribusi kekuatan ekonomi dan sosial, aturan dibangun secara bersama, informasi dan pengetahuan dibagi secara terbuka dan dapat diakses, kesehatan, kebahagiaan, kepercayaan dan keberlanjutan menjadi karakter penting, serta dibangun dalam visi jangka panjang.
Maka ketika berada dalam lingkar bisnis pendidikan, sudah saatnya untuk menempatkan bandul waktu untuk melakukan lompatan dalam meraih visi sederhana. Ketika kemudian diamanahkan untuk membangun aktivitas pendidikan pada sebidang tanah setengah hektar, maka berpikir untuk membangun kanal pendidikan sederhana, menjadi tempat berbagi dan mengelaborasi pengetahuan, yang kemudian dikembalikan lagi pada ruang yang lebih luas.
Ketika gagasan ini diungkap, seorang kawan berujar ada lahan yang lebih dari dua setengah hektar dan tidak akan diperjualbelikan ataupun diusahakan. Menjadi sebuah jalan kecil untuk menuju mimpi. Pendirian sebuah pendidikan tinggi membutuhkan lahan setidaknya dua hektar. Dengan syarat lainnya tentunya, soal keberadaan gedung dan simpanan investasi hingga di atas 300 juta rupiah setiap program studi. Tak terlalu rumit untuk mencoba menguraikan apa langkah selanjutnya. Hanya membutuhkan kepastian jangka pendek tentang perijinan mengelola lahan tersebut. Walau dalam perjalanan, lahan yang setengah hektar masih memungkinkan diekspansi hingga satu setengah hektar, namun pastinya masih akan membutuhkan setengah hektar lagi. Sementara, kawan lain berujar ada kemungkinan sembilan hektar kebun yang juga tidak dikelola empunya, yang sangat mungkin untuk menjadi laboratorium alam untuk pendidikan.
Saya tidak sedang berpikir tentang konsumen pendidikan tinggi. Saya masih memposisikan bahwa konsumen itu akan lahir beriringan dengan kualitas dan karya yang didorong karsa yang disajikan oleh lembaga pendidikan tersebut. Lembaga pendidikan tinggi pastinya mampu melahirkan pasar tersendiri. Dan tentunya infrastruktur pendidikan akan bergerak dengan rodanya sendiri, dengan investasi yang terus berputar.
Pertemuan dalam ruang lainnya juga mempertemukan kegelisahan ataupun mimpi yang berserakan lainnya, “saya juga ingin membangun perguruan tinggi sendiri”. Menjadi ruang penguat bagi gagasan sederhana, yang bertemu dengan beragam mimpi yang sama. Walaupun masih butuh penjejakan langkah yang dipastikan, dalam merangkai mimpi tersebut.
Sekarang waktunya untuk berkemas. Kembali mengendapkan gagasan hingga mengekstraksinya menjadi rangkaian yang berstruktur dan berencana. Menetapkan peta tapak hingga kemudian dua tahun mendatang telah berdiri pendidikan tinggi yang menginduk pada ekonomi berbagi, dengan nilai pendidikan tinggi berbagi (sharing education).
Leave a Reply