Internet of (no)Thing(s)
“Alat ini akan membantu memantau tekanan air dan level air tanah. Harganya sekitar tiga ribu USD.” Demikianlah diungkapkan seorang peneliti dari sebuah universitas di Jepang kepada reporter televisi itu. Dengan dana penelitian yang dimiliki oleh Jepang, tentunya dapat dengan mudah untuk melakukan beragam pengembangannya. Hanya saja, Jepang tak punya kemewahan berupa wilayah penelitian, dimana Indonesia mampu menyediakan itu. Terjadilah kerjasama, yang entahlah apakah ada peneliti dari Indonesia yang terlibat dari sisi teknologinya. Pastinya, 56 unit alat ini dikirim dari Jepang, dan kabarnya murah.
Satu waktu, saia berbincang di depan sebuah alat pemantau kualitas air tambak, yang dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di sebelahnya ada alat pemantau cuaca dengan mikrokontroler. Saia bertanya kepada yang sedang berada di dekatnya, “mengapa tak bekerja sama dengan institusi pemantau cuaca itu?” Jawabannya, serupa dengan jawaban peneliti lainnya. “Susah kita pak. Kita sudah mengembangkan ini, ingin diterapkan, lalu ada penghadang birokrasi. Sulitlah pokoknya pak. Akhirnya ya alat ini hanya kami pakai dalam skala penelitian saja.”
Birokrasi. Ini kata kunci pertama yang saia temukan dalam perbincangan itu. Ada pipa birokrasi yang menyumbat leher botol, bagaimana kemudian peneliti dengan temuannya, bisa ditemukan dengan pengguna, dan tentunya dikembangkan secara lebih meluas.
Kata kunci kedua yang saia temukan dari percapakan itu adalah “Leadership” atau kepemimpinan. “Pimpinan kami nggak mau pak. Mungkin juga dia tidak mau kita ini berkembang.” Ketika pimpinan sebuah institusi penelitian tidak pernah melakukan penelitian, apalagi berperan sebagai developer sebuah produk penelitian, maka sudah pasti tidak akan memahami ritme yang ada dari sebuah penelitian. Kepemimpinan menjadi kunci terhadap berkembangnya sebuah produk penelitian.
Dari kejadian tersebut, saia mulai berkesimpulan, bahwa leadership penelitian di negeri ini menjadi sukar untuk berkembang, karena kultur lembaga penelitian yang ditempatkan untuk memimpin penelitian di nusantara ini, ternyata tidak tepat dalam melakukan pengembangan, apalagi berposisi sebagai developer dari penelitian yang harusnya bisa berkembang di negeri ini.
Kembali ke teknologi yang dihasilkan dari peneliti Jepang di atas, yang bila dibandingkan dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh LIPI, maka tak ada yang meragukan bahwa hal tersebut dapat juga dilakukan oleh peneliti Indonesia. Pun sebenarnya, dapat lebih dikembangkan dengan biaya yang lebih murah. Mungkin sekitar seribu USD saja, sudah mampu dikembangkan hal yang lebih jauh daripada itu. Kenapa? Karena tentunya peneliti lokal akan lebih punya pemahaman yang lebih baik terkait kebutuhan data yang ingin diolah menjadi informasi yang dibutuhkan negeri ini. Selain itu, soal ketersediaan dan keamanan data, tentunya bisa lebih baik, bila berbincang terkait kedaulatan data.
Namun inilah negeri ini. Teknologi Internet of Things yang sudah mulai mengarah pada Internet of Everythings, mulai merasuk ke beragam lapisan di negeri ini. Hanya memang masih sekadar sebagai pengguna ataupun setidaknya perakit. Tantangan terbesar bagi negeri ini adalah melahirkan peneliti yang menemukan. Dan itu bukan tidak mungkin, andai saja dana penelitian tersedia dengan baik bagi peneliti di negeri ini.
Leave a Reply