Keamanan Siber
Urusan keamanan di dunia siber, kerap kali dipandang sebagai urusan teknis semata. Bahwa kemudian lahirnya organisasi non pemerintah, termasuk swasta, yang mengkhususkan pada penanganan dan pengelolaan serangan kepada sistem komputer di negeri ini. Lalu kemudian juga lahir Badan Siber Nasional, yang entah akan mengelola pada bagian mana.
Silahkan tengok presentasi Yudhistira Nugraha ini.
Sebuah gambaran terkait bagaimana situasi dan cara pandangan keamanan siber di negeri ini. Pun bisa memperdalam pada materi Prof. Ian Brown OII di http://www.slideshare.net/blogzilla/regulating-code. Juga sedikit catatan dari kuliah online #FutureofCSID @csnews_id.
Bagaimana strategi keamanan siber negeri ini tidak menunjukkan sebuah kemajuan berarti. Ketika kemudian mereka yang bekerja pada lingkar pemerintahan pun, sejak 2012 telah mendorongkan gagasan adanya Strategi Nasional Keamanan Siber (SNKS), yang sepertinya tak memperoleh respon baik dari lingkar pemerintahan sendiri. Gagasan ini seperti berlalu begitu saja, maka pun peta jalan yang akan ditempuh negeri ini semakin tak berarah.
Masuknya Google Loon di ruang angkasa nusantara pun mulai melahirkan perdebatan. Menteri urusan Komunikasi dan Informatika dengan jelas menyebutkan, proyek ini hanyalah penyedia jaringan dan tidak melakukan surveillance (penyadapan), namun kemudian berujar “itu urusan perhubungan, bukan kominfo“. Satu garis yang menunjukkan bahwa tak ada kejelasan yang pasti jelas di dalam rantai birokrasi.
Lalu kemudian, urusan perlindungan data pribadi, yang sampai dengan saat ini masih belum ada kejelasan dan kepastian perundang-undangannya, masih menghasilkan begitu banyaknya data-data konsumen (digital) negeri ini yang berhamburan. Dengan mudah tele-marketer menelpon dan berujar “kami adalah mitra dari perusahaan perbankan XXX, maka kami memperoleh data anda. bagaimana kabar anda hari ini?“. Luar biasa. Kehidupan setiap warga negara dengan mudah dipindah-pindahkan, bahkan diperdagangkan, dengan dalih pemetaan pelanggan untuk kepentingan pemasaran (marketing).
Belum lagi urusan kedaulatan digital, yang tentunya dunia digital adalah borderless (tanpa batas). Dimana ranah nasionalisme tak lagi mengenal ruang. Lalu dimanakah kekuasaan negeri ini untuk mengelola kekayaan digitalnya? Dimanakah letak nasionalisme digital? Dimanakan kejayaan kedaulatan nusantara digital? Bukan soal konten, tapi bagaimana kemudian ada ruang yang dibatasi, hingga tak dapat dengan mudah diakses oleh kepentingan ‘penghisapan’ data-data dikecualikan melalui jejaring maya.
Konteks pengaturan dan menata kelola internet di nusantara digital ini masih sangat jauh dalam perjalanannya. Sementara komputasi awan semakin menggelembung, internet of things menjadi internet of everythings, dan kemudian online shop telah bermetamorfosa menjadi economic digital yang ditopang dengan digital industry yang terus bertumbuh. Regulasi tertinggal jauh di belakangnya.
Dan kurikulum pendidikan tenkologi informasi malah dihilangkan dari pendidikan dasar dan menengah, lalu dianggap selesai dengan urusan menggunakan komputer dan layar sorot (proyektor) dalam menyampaikan presentasi pembelajaran. Serta kurikulum pendidikan tinggi teknologi informatika yang berkutat pada urusan teknis, pun pada program studi sistem informasi, yang meniadakan empat bagian lain dalam kerangka bangunan sistem informasi.
Keamanan siber adalah pekerjaan yang tertunda, selain urusan Tata Kelola Internet Nusantara. Sementara kemudian dunia digital masih disibukkan dengan urusan perbincangan dalam tagar, serta semakin meningkatnya kasus hukum pencemaran nama baik, selain masih terus bertumbuh urusan pidana fraud maupun kasus-kasus perdagangan melalui media internet lainnya. Namun, apa kabar Dewan Pembina Teknologi Informasi dan Komunikasi Provinisi ini?
Leave a Reply