Ketika Kritik Menghina
“Selama 10 tahun jadi wakil wali kota kemudian 6 tahun menjabat wali kota Samarinda tak mampu mengatasi banjir di Kota Tepian” Demikian kalimat yang dikutip oleh Sapos berdasarkan SMS yang berasal dari AH (62) yang dilaporkan oleh Walikota Samarinda ke Polresta Samarinda. Mencermati kalimat ini, belum menemukan makna yang menghina ataupun mengancam bagi sebuah posisi jabatan. Dan pada sehari sebelumnya, telah terbit berita pada sebuah media dengan mengangkat hal serupa, “Enam Tahun Memimpin, tapi Gubernur dan Wali Kota kok Masih Belum Punya Solusi Banjir“. Pesan singkat dan berita tersebut bukanlah barang langka, karena penanggulangan banjir merupakan isu prioritas dari RPJPD Kota Samarinda 2005-2025 dan RPJMD (Ranwal) 2016-2021.
Masih belum jelas apakah ada pesan singkat lainnya sebelum ataupun sesudah pesan singkat yang dicapture oleh media. Bahwa UUD masih memberikan jaminan terhadap kebebasan berpendapat dan berkomunikasi, maka posisi warga yang menyampaikan pesan, walaupun berada dalam ranah komunikasi privat, menjadi tidak benar bila kemudian menjadi alasan untuk dipidanakan, apalagi menggunakan UU No. 11/2008. SAFENET telah mencatat peningkatan drastis penggunaan UU ITE ini dalam kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat online.
Pernyataan ajudan Walikota, bahwa yang bersangkutan telah bertemu dan meminta maaf, serta akan ada pencabutan laporan, namun bukan berarti ini menandakan sebuah kondisi yang baik, dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi di Samarinda. Ini merupakan ancaman yang tegas dinyatakan oleh Pemerintah Kota terhadap warganya. Apalagi, Samarinda merupakan kota dengan 50 titik banjir, yang semakin meningkat tinggi airnya ketika banjir terjadi. Ranwal RPJMD 2016-2021 saja, baru meletakkan hanya akan ada penurunan 10 titik banjir di 2021. Artinya, kejadian banjir, yang memicu pendapat dan ekspresi dari warga kota, akan kemudian dibungkamkan, dengan karakter pemerintah kota yang anti kritik. Apalagi kemudian, 10 kanal saluran informasi warga, belum memperoleh ‘legitimasi’ dari warga, karena ketidakyakinan warga akan efektifitas kanal tersebut.
Diskusi-diskusi warga di media sosial (20Juni2016.10.35wita: postingan di groups ini dihapus), juga bisa jadi kemudian berhenti. Menjadi menarik kemudian, Samarinda dapat menjadi kota yang berjalan autopilot, dan semakin ditinggalkan oleh warganya. Padahal, sudah jelas bahwa mimpi menjadikan Samarinda sebagai SmartCity, serta menjadi kota Metropolitan, yang menjalankan pertumbuhan ekonomi hijau (Green Economy), tidak akan berwujud tanpa partisipasi dan keterlibatan warga dalam setiap tahapan proses pembangunan, sejak perencanaan hingga pengawasan.
Lalu, apa yang sebenarnya sedang diharapkan oleh Pemerintah Kota Samarinda hari ini? Semakin kerap membungkam warga, hanya karena pesan singkat yang mengganggu kenikmatan makan malam? Ataukah benar ingin menyelesaikan beragam permasalahan lingkungan hidup dan sosial yang ditinggalkan oleh kebangkrutan rejim ekonomi batubara? Pilihan bagi pemimpin kota yang anti kritik dan tidak membuka saluran komunikasi dengan warga adalah meminta maaf kepada warga kota, dan segera untuk menjadi warga biasa saja.
Update:
Tanggal 21 Juni 2016 pukul 15.00 wita, AH (62) telah dibebaskan oleh Polresta Samarinda dengan surat perintah pengeluaran tahanan nomor SPP./124.J/VI/2016. Isi SMS, “Selain kritik tentang banjir, ada juga isi SMS yang menyinggung, yang menyama‑nyamakan wali kota dengan salah satu nama yang tidak bisa kami sebutkan namanya. Mungkin itu yang membuat wali kota melaporkan” ujar Kapolres.
Aku ijin share tulisan ini bung ade fadli….
sila
Mantab bung..