Menanam di air, lalu kemana tanah ?
“Diminta melatih hidroponik untuk warga di desa. Belum tahu juga maunya seperti apa. Tapi ...”. Sulur ataupun pengikut trend, sudah menjadi sebuah pola yang terbentuk dalam kultur generasi Z. Meniru, mengikuti, beramai-ramai, dan yang terpenting adalah take a pic, klik and share. Kultur baru yang terbangun, yang kemudian belum diketahui apakah akan mampu melahirkan kepemimpinan baru ataukah tetap menumbuhkan generasi sulur.
Hidroponik setidaknya menjadi model bertanam di perkotaan yang minim lahan. Gerakan kota berkebun, setidaknya menjadi gambaran, bahwa begitu sukarnya menemukan lahan yang bisa dijadikan lahan untuk bertetanaman. Maka, ketika rumah telah semakin sesak hingga ke batas sisi tanah, maka pilihannya adalah menanam pada media yang memperoleh inputan hara secara manual. Proses pemenuhan pangan keluarga, dapat diberikan, dengan keterbatasan lahan bertanah yang dimiliki.
Lalu, apa yang kemudian terjadi bilamana model hidroponik dibawa pada perkampungan yang masih berlimpah tetanahan? Maka proses ini akan melepaskan secara perlahan ikatan warga dengan tanah. Pun kemudian proses ketergantungan terhadap hara dan bibit akan terjadi. Lalu kemudian, semakin berhasillah mimpi industri untuk mengikat penanam dalam lingkaran bisnisnya. Membeli bibit, membeli hara, membeli perlengkapan, dan kemudian menjual pada ruang yang sempit.
Kegagalan para pengide adalah belum mampu mewujudkan idenya. Ketika kemudian mengalirkannya, tanpa pernah mencoba membangun model dan bersimulasi. Yang penting melakukan. Lalu setelah itu? Lupakanlah dampak yang akan dilahirkan. Setidaknya, hari ini sudah berbuat.
Dalam usaha mengurangi sampah plastik pun, sebuah gerakan mengolah sampah plastik menjadi kerajinan digelontorkan. Lalu kemudian, setiap orang berupaya memperoleh sampah plastik, agar kemudian mampu membuat kerajinan darinya. Dan kemudian, jumlah sampah plastik semakin meningkat, karena kemudian hasil kerajinan yang dibuat, kembali menjadi sampah. Pun tak ada yang menengok gerakan yang dilakukan oleh sebuah industri, yang mengumpulkan kembali kemasan produknya, dengan kompensasi diskon ataupun point yang dapat dibelanjakan kemudian. Sampah adalah tanggung jawab produsen sampah. Maka pun, upaya mengolah ulang sampah dengan dukung industri, sebenarnya adalah bagian dari melepaskan tanggung jawab dari industri sampah.
Pada hidroponik, yang menjadi sangat bermanfaat di lingkungan perkotaan, apalagi yang menjelang metropolitan, dapat menimbulkan ikatan tersendiri terhadap rantai pangan. Walaupun masih ada tantangan untuk menghadirkan hara olahan untuk dapat menjadi nutrisi bagi tetanaman. Pun untuk menghadirkan benih-benih non industri, agar kemudian rantai benih tak lagi dikuasai oleh industri. Sehingga kemudian ini tak mengulang kesuksesan gerakan daur ulang sampah menjadi kerajinan, yang akhirnya terperangkap di dalam ruang hampa.
Sementara, pola tanam di perkampungan tak perlu didorongkan pada pengikatan penanam pada industri. Model tanam rumah tangga dapat didorongkan dengan pola aliran hara yang berlanjut dari tanah, dapur dan kembali ke tanah. Komposter, yang mungkin dibuat secara komunal, menjadi pilihan agar kemudian satu permasalahan perkampungan memperoleh jawaban, sampah organik. Hanya kemudian penting mencari jalan baru untuk menjawab sampah tak terurai, yang semakin meningkat seiring dengan perubahan kultur makan dari setiap warga. Keinginan mencicipi makanan-minuman dalam kemasan, telah menghadirkan tumpukan sampah di kolong-kolong rumah.
Melepaskan ikatan tanah dengan penanam akan mendorong pada penghilangan tanah untuk kehidupan komunal. Pun juga menghilang kultur dan keyakinan, yang selama ini telah menjaga kehidupan lebih banyak kehidupan di sekitarnya. Serta menghilangkan pula ikatan komunal yang selama ini dijadikan patern dalam menjaga masa datang dan masa lalu. Lalu dimanakah tanah ketika mulai disalurkan gagasan bertanam pada air? Mungkin kalian sudah lelah… maka beristirahat panjanglah… tak perlu hadirkan pengrusakan berkelanjutan…
Leave a Reply