Menernak yang Dilindungkan
@timpakul ide yang sangat bagus, ditjen inovasi menerima saran dari anda
— Kemristekdikti (@kemristekdikti) June 22, 2016
Begitulah kurang lebih jawaban dari @Kemristekdikti ketika disampaikan untuk menjadikan satwa rusa sebagai hewan ternak. Memang harusnya bukanlah sebuah perkara yang sederhana. Apalagi rusa dan sejenisnya masih termasuk dalam satwa liar dilindungi oleh peraturan pemerintah. Hingga, saat ini tak begitu banyak yang mengajukan proses penangkaran rusa ataupun sejenisnya, karena terbayang begitu rumitnya proses perijinan yang melingkupinya.
Bahwa menjadikan rusa dan sejenisnya sebagai hewan ternak adalah pilihan bagi masa depan harga daging di negeri ini. Selama ini, belenggu perlindungan satwa, terhadap satwa-satwa yang berpotensi sebagai hewan ternak, telah menjadikan satwa-satwa tersebut kian tergerus populasinya. Padahal, proses reproduksi rusa dan sejenisnya tidak terlalu serumit sapi. pemeliharaan pun jauh lebih mudah. masih belum ada ancaman penyakit yang cukup mengganggu. Hingga, sebenarnya peternak andai saja bisa menjadikannya sebagai hewan ternak, maka akan jauh lebih bisa mengembangkannya.
Kegagalan konservasi hari ini adalah lebih pada keangkuhan konservasionis itu sendiri. Mencoba melakukan upaya perlindungan, tanpa pernah mencoba untuk keluar dari kotak. Kaum ekofasis masih sibuk dengan urusan melestarikan satwa liar dilindungi secara mengunci. Lalu ketika habitat mulai berkurang, mulailah berteriak bahwa ada soal lain di luar satwa. Sebelumnya, mereka sangat abai dengan itu.
Masih belum jelas pun bagaimana proses audit management satwa konservasi hingga saat ini. Karena, dari lebih dari 70 lembaga konservasi di Indonesia, entah berapa yang pernah dilakukan audit management satwa liarnya. Pun kita bisa sangat dengan jelas menyaksikan kebangkrutan kebun binatang, yang juga masih terlampau sukar untuk diperbaiki managementnya. Karena tentunya, ada bisnis besar di baliknya.
Saia tak terlalu terkejut melihat besarnya angka ekspor terumbu karang, misalnya, menuju ke US dari Indonesia. Pun berasal dari wilayah yang ada lembaga konservasi negara tersebut melakukan pengelolaan pada kawasannya. Apakah ada relasi diantara keduanya? Entahlah. Namun statistik itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pun terhadap satwa liar dilindungi, semakin kerap dilakukan uji DNA dengan dalih pengujian individu ataupun spesies, dan sample pun dibawa ke seberang pulau. Setelah itu? Entahlah…
Tak perlu berteori konspirasi dalam konservasi. Wajah buruk konservasi telah berulang ditunjukkan. Mulai dari kematian Orangutan di pusat rehabilitasinya, hingga semakin banyaknya kematian satwa dilindungi pada lembaga konservasi. Dan kemudian lalu mulai berteriak, “dimana dananya?” Lah, memangnya selama ini nggak teriak karena masih kenyang aja?
Sudahlah. Pendekatan baru harus dilakukan. Kepada mereka yang melakukan pembunuhan satwa dilindungi, hanya untuk bernarsis di media sosial, sudah sangat jelas hukumnya. Berikan efek jera pada kaum ini. Kepada para pemelihara satwa liar dilindungi, biarkanlah satwa pada mereka, dan awasi bila ada perdagangan ataupun ketidakseriusan dalam mewarat. Bila terjadi perdagangan ataupun ketidakseriusan pemeliharaan, dapat dikenakan sanksi pidana.
Terhadap satwa liar dilindungi yang memiliki kemampuan reproduksi lebih baik, dan merupakan herbivora, berikanlah kesempatan peneliti peternakan untuk bekerja dan mengembangkannya sebagai hewan ternak. Selalu ada kesempatan lebih baik bagi satwa liar bilamana upaya peternakannya dapat berhasil. Pada rusa sambar, misalnya. Kemampuan reproduksinya cukup tinggi, perawatannya jauh lebih mudah, dan penyakit yang dimilikinya masih lebih rendah. Walaupun jelas, butuh penelitian terlebih dahulu untuk memastikannya. Dan ini dapat menjadi jawaban krisis daging yang ada di negeri ini, yang selama ini dikunci dengan daging sapi. Jadi, apakah masih mau terjajah sapi?
Leave a Reply