Mengistirahatkan alam
Mengistirahatkan kekayaan alam dari eksploitasi, atau yang kerap disebut sebagai moratorium, baik di tingkat nasional maupun Kalimantan Timur, sepertinya belum memberikan dampak yang berarti bagi hutan dan ekosistem yang dilingkupinya. Gagasan yang diusung pada saat istilah moratorium diperkenalkan pada isu hutan, sudah sangat jauh dibandingkan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kemudian.
Moratorium yang sedang dijalankan oleh pemerintah hanyalah sebuah penghentian sementara terhadap eksploitasi hutan alam. Artinya, luasan hutan alam nusantara yang sudah semakin sedikit tersebut, masih akan menghilang pada waktunya. Ancaman kehilangan ini masih belum diperhatikan dengan baik, pun oleh para mereka yang kabarnya memperjuangkan kelestarian alam (conservationist). Mungkin masih terlupa bahwa ada perbedaan makna antara moratorium dan penghentian.
Dan ketika kebijakan ini berlaku, hanya diperlakukan kepada perizinan baru. Bukan kepada perizinan-perizinan yang telah lalu. Ini memberikan kesempatan kepada pemegang perizinan, termasuk para land grabber, untuk segera menghabiskan hutan alam yang tersisa di kawasan perizinannya. Padahal luasan hutan alam di wilayah perizinan juga tak sedikit.
Berikutnya juga, kebijakan moratorium hanya berlaku pada hutan alam, utamanya dataran tinggi, yang sudah pasti sukar untuk dieksploitasi. Juga kebijakan ini berlaku pada ekosistem rawa gambut, yang memang penting. Namun tak berlaku pada kawasan esensial lainnya, seperti ekosistem gamping (kapur) hingga karst, ekosistem kerangas, juga terhadap ekosistem mangrove. Kawasan-kawasan penting yang rentan tersebut, kini tidak terlindungi dengan kebijakan moratorium, yang padahal untuk merestorasinya, belum cukup pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia hari ini.
Mungkin benar, bahwa pemimpin negeri saat ini merupakan lulusan sebuah fakultas yang berbau kehutanan dan punya hobi untuk berjalan-jelan ke pegunungan. Namun wawasan tentang kawasan esensial, utamanya kerangas, tak dimiliki oleh setiap mereka yang pernah belajar tentang hutan.
Keunikan dan kekhasan ekosistem kerangas, menjadikan masih sangat sedikit peneliti melakukan pembelajaran padanya. Luasannya yang sangat kecil juga menjadikannya tak menarik. Apalagi bila dipersandingkan dengan gambut, yang penting dalam konteks emisi gas rumah kaca, kerangas sama sekali tak memberikan makna besar padanya. Bahkan bila karst ataupun batuan kapur sudah memiliki forum dan peminat sendiri, keterkaitannya dengan gua prasejarah dan kewisataan yang dimilikinya, kerangas sama sekali tak memiliki penggemar. Pun penghobi kantung semar (Nepenthes sp.), tak terlalu mempedulikan ekosistemnya.
Kembali pada moratorium, pelayan publik memang hanya berpikir agar investasi tak mengalami guncangan dengan kebijakannya. Gagasan awal moratorium yang mengharapkan tak ada proses ekploitasi yang berjalan pada setiap satuan kawasan ekosistem, saat moratorium berlangsung, sepertinya tak mungkin dipertemukan. Goncangan investasi pasti terjadi bilamana gagasan awal moratorium diberlangsungkan. Walaupun sudah diberikan jalan baru, untuk mengerjakan proyek rehabilitasi, reboisasi hingga restorasi ekosistem, serta memastikan pembangunan kebun kayu pada lahan terdegradasi, yang dipandang belum terlalu prioritas.
Moratorium, harapannya bisa memberikan kesempatan bagi hutan dan ekosistem lainnya bernafas sesaat. Sementara disaat moratorium, juga penting dilakukan upaya-upaya serius untuk melakukan audit kebijakan dan perizinan. Membaca ulang peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan, menyesuaikannya dengan kemampuan alam melayani manusia, hingga kemudian membangun peraturan perundang-undangan yang benar-benar berpihak pada ekologi dan kultur warga nusantara. Selain itu, autid perizinan dilakukan untuk melihat kembali apakah perizinan sudah diberikan pada lokasi dan kapasitas yang tepat.
Apalagi bila membaca kebijakan moratorium yang berlaku di Kaltim. Yang sebenarnya adalah sebuah fatamorgana moratorium. Karena perizinan masih dimungkinkan untuk dikeluarkan, bilamana dicukupkan persyaratannya. Bila bersedia mendukung program prioritas pembangunan Kaltim, maka rekomendasi dan perizinan masih dimungkinkan untuk dikeluarkan.
Jadi, moratorium untuk mengistirahatkan alam, sebagaimana sebagian besar warga nusantara mengistirahatkan jiwa dan raganya dalam kurun waktu tertentu, agar kemudian dapat memperoleh kekuatan baru dalam berkehidupan, harusnya dapat berlangsung. Bilamana alam telah bosan dengan kita, maka bencana ekologi menjadi respon atasnya. Meningkatnya tinggi air permukaan, berubahnya arah dan kecepatan angin, cuaca yang tak lagi mampu diprediksi, hingga perubahan iklim secara global berwujud, merupakan sebuah respon alam akibat ketiadaan waktunya untuk beristirahat.
Makapun, pilihan moratorium harus dibangun dengan cara baru. Sudah seharusnya dilakukan penghentian permanen ekploitasi pada kawasan hutan alam dan kawasan esensial, yaitu gamping, karst, mangrove, kerangas, rawa dan gambut, serta hutan dipterocarpa dataran rendah, serta diikuti dengan proses moratorium (penghentian sementara) pada perizinan yang sedang berlangsung dan terhadap perizinan baru pada ekosistem yang masih memungkinkan untuk dikelola. Disaat bersamaan, dilakukanlah proses-proses perbaikan regulasi, audit perizinan, serta pemulihan kawasan terdegradasi. Amun jua mau pang !
Leave a Reply