no blank spot
“Kaltim No Blank Spot 2018” begitulah slogan yang diletakkan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Timur dalam beragam acara yang mereka gelar. Di tahun 2015, sekitar 2 miliar rupiah disiapkan untuk membangun 9 tower telekomunikasi. Entah apakah kemudian target menghilangkan blank spot itu akan tercapai di tiga tahun mendatang, ataukah masih akan hanya menjadi sebuah pengharapan semu.
Akhir tahun 2014, Menteri Komunikasi dan Informatika meresmikan 5 menara telekomunikasi di Tiang Ohang, Mahulu, Kaltim. Menara yang dibangun dengan pendanaan APBD Kaltim ini, seperti terlihat sebagai sebuah proses jawaban atas tuntutan warga. Lalu, sudahkah ‘kemerdekaan’ berkomunikasi itu didapat? Gubernur Kaltim, dalam Rakorda Kominfo Kaltimra 2015 (27/5) berujar, “sekarang, sulit untuk menjamin tetap terus beroperasi, karena tak ada solar“.
Target untuk menghapuskan wilayah yang tak terjangkau komunikasi merupakan hal yang patut untuk diapresiasi. Keinginan ini tentunya akan memberikan banyak manfaat bagi beragam aktivitas sosial-ekonomi-budaya lainnya. Komunikasi telah menjadi kebutuhan pokok baru bagi warga, agar kemudian terhubungkan dengan belahan dunia lainnya.
Di sisi lain, ada hal yang juga menjadi penting. eGovernment bukanlah semata urusan teknologi, namun lebih jauh dari itu, ini urusan kultur. Kultur pemerintahan yang harus berani melampaui, tak sekedar melayani warga, namun juga membangun pola komunikasi yang nyaman dan terbuka terhadap warganya. Otonomi asimetris yang dituntut oleh oleh Kaltim, juga bukan merupakan jawaban, bilamana perilaku organisasi pemerintahnya masih belum mampu berposisi benar terhadap warga.
“Mal-administrasi, bukan semata soal kesalahan administrasi, namun bilamana tidak melayani dengan ramah, sudah termasuk kategori mal-administrasi“, ujar pejabat Ombudsman perwakilan Kaltim, saat itu. Kalimat sederhanan ini justru tidak menjadi penting untuk dipersiapkan. Apakah kemudian pemerintah telah mempunyai sebuah standar layanan? Apakah kemudian sekat komunikasi, dengan lapisan kaca yang selalu ada pada tempat layanan warga, sudah dilepas agar tak ada lagi sekat komunikasi?
Pun ketika UU tentang Keterbukaan Informasi Publik telah disediakan. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi telah dtunjuk. Masih terdapat permasalahan terbesar dalam melayani keterbukaan informasi bagi publik. Tiadanya sebuah sistem yang benar dan efekfit dalam pengelolaan data dan informasi, menjadikan hambatan pertama terhadap pemenuhan ini. Pun kembali, ini persoalan kultur pemerintahan yang masih belum menempatkan data dan informasi sebagai salah satu aset utama dalam proses pencapaian tujuan pembangunan.
Hingga saat ini, hanya sedikit Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membangun sebuah sistem informasi dengan benar. Tak hanya sekedar membangun sebuah laman, namun mencoba membangun sebuah sistem secara komprehensif. Itupun masih menghadapi kendala internal, soal kultur, dan soal ketakutan akan keterbukaan. Sistem informasi bukanlah semata laman. Ini merupakan sebuah bagian yang komprehensif, antara kebijakan, sumberdaya manusia, perangkat lunak, perangkat keras, dan jaringan. Laman hanyalah tampilan beranda depan, agar warga dengan mudah memperoleh informasi yang dibutuhkan.
Masih ada rangkaian pekerjaan yang harusnya dilakukan agar cita-cita eGovernment bisa terwujud dengan baik dan benar bermanfaat. Dan dibutuhkan Chief Information Officer yang berintegritas dan memiliki visi. Ini yang masih belum dimiliki oleh pemerintahan, karena masih menempatkan teknologi informasi sebagai pendukung semata, dan tidak meletakkannya sebagai tulang punggung bagi proses pencapaian visi, misi, dan tujuan pembangunan. Mari menantikan ketiadaan blank spot di tahun 2018.
Leave a Reply