otak kelapa
Entah mengapa belakangan saya sudah tidak tertarik lagi untuk menguraikan mimpi-imaji yang selama ini terbangun. Tentang sebuah pusat pembelajaran yang mampu menghasilkan begitu banyak anak muda yang mampu membangun jutaan senyuman kebahagiaan pada lebih banyak orang. Ada ketidakpastian yang telah dipaparkan. Ruang-ruang yang pernah diungkapkan, perlahan mulai diserap oleh bumi.
“Tapi”, kata ini seolah selalu menjadi permakluman. Menjadi agak sukar untuk mengakui bahwa ini adalah sebuah kegagalan, ataupun sebuah pencapaian yang masih lama ditundanya. Pun bisa jadi sebenarnya tak pernah ada keinginan untuk menjadikannya. Kata-kata dalam kalimat di berikutnya telah memberikan sebuah argumentasi yang tersusun rapi, agar kemudian melahirkan sebuah kata baru dalam otak, “maklumlah”.
“Nggak mungkin”, ataupun kemustahilan, telah menjadi sebuah penanam yang utuh di ujung labirin otak, yang kemudian menghasilkan sebuah gerak yang beraturan untuk semakin menjauhkan dari sebuah pengharapan yang dijanjikan. Pada setiap orang yang terkadang masih meyakinkan, bahwa tak ada yang tak mungkin, selalu sukar sesuatu itu menjadi mustahil, atau segalanya bisa berwujud. Pikiran menjadi pengendali semu terhadap seluruh gerak tubuh dan imajinasi. Ketika sebuah tanda penghentian ataupun sesaat berparkir mulai terlihat, maka berhentilah untuk terus berkehidupan.
Satu kalimat yang masih erat dalam ingatan adalah “berhentilah bicara, lakukan saja”. Kalimat sederhana ini menjadi pengingat palsu di alam pikiran. Seolah-olah segalanya sudah berada pada titik yang terdekat. Padahal, bisa jadi sebenarnya tak pernah akan bisa dicapai hingga tahun dan puluhan tahun mendatang. Mungkin saja baru akan terjadi ratusan tahun berikutnya. Dan hanya butuh sedikit ingatan, bahwa banyak hasil penelitian yang harus dilakukan berulang hingga puluhan ribu kali, hingga kemudian menjadi kesempurnaan pada waktu itu.
Tindak tanpa tanduk menjadi langkah sederhana agar kemudian kehidupan dapat terus dilanjutkan. Dengan sendal dan kaos, yang selalu diperbincangkan akademik administratif berkosong otak, langkah dan perjalanan harus terus dilanjutkan. Hanya butuh sedikit lompatan dengan menggeserkan arah dan kawan seperjalanan.
Ketika uang masih menjadi Tuhan, maka tak akan pernah berwujud sebuah iklim pencerdasan yang mengarah pada kelahiran teori baru. Kampus yang rakus dan dipenuhi dengan begitu banyaknya zombie akademisi dan akademisi administratif, telah melahirkan kesempurnaan keberlanjutan penghisapan. Pun ketika para pembelajar hanya berharap selembar kertas yang bisa ditunjukkan pada kedua yang menghadirkannya ke dunia. Sementara, harga otak bekas masih akan terus melambung tinggi, hanya karena terlalu sedikit waktu penggunaannya.
Leave a Reply