pekerja pendidikan
Berhenti dari pekerja pendidik adalah pilihan terbaik. Ketika kemudian belajar telah menjadi komoditas, maka kemudian akan dihasilkan pembohongan kolektif.
Ketika kemudian mencoba berada pada rel yang ditentukan, lalu kemudian selalu ada pemindahan simpang yang tak pernah disadarkan. Lalu kemudian bersadar telah berada pada titik kenyamanan.
Selembar surat yang dibawa, lalu berharap permakluman, karena harus menjaga sumber kehidupan, maka pun mulai meniadakan harapan. Ketika belajar dimulai, maka beragam slogan tertera di dinding kelas. Menghegemoni pikiran. Bahwa keidealan seorang manusia itu harus ada.
Jujur. Disiplin. Tepat waktu. Rajin. Pintar. Bertakwa. Tidak Korupsi. Bersih. Dan puluhan kata lainnya yang berpihak pada kondisi yang tak mungkin terpenuhkan.
Korup. Akar dari perilaku yang selalu berlawan dengan kata-kata kalimat keimanan. Lalu kemudian dengan senang hati, tanpa pernah ada sebuah penjelasan yang terbuka, melakukan proses penghisapan, atas nama menjadikan penciptaan manusia menjadi lebih sempurna.
Ini adalah titik perhentian. Sudah terlalu muak dengan kalimat yang dijanjikan. Lalu pun diskusi hanya berbalas tembok senyap. Dan marilah menutupnya.
Berputar pada titik lompatan yang diharapkan. Berbagi dan belajar pada ruang tanpa sekat. Bak kalimat yang selalu diujar berulang oleh pemimpin sebuah kota, “jadilah pura-pura goblok atau pura-pura gila, karena dengan itu akan melahirkan perubahan menuju keadilan sosial, bukan berbagi bantuan sosial”.
Belajar pada kotak sabun tertutup. semakin menemukan bahwa tak ada yang membekas. Hanya letupan kesenangan yang dipalsukan. Tak lagi terdengar asa yang tersapu dompet yang semakin tak berisi. “sudah bosan diskusi dan ragam seminar itu, memungut sehelai sampah di sungai pasti memberikan dampak yang lebih bermakna”, ujar pemungut sehelai sampah di Karang Mumus.
Mari melakukan lompatan. Berhenti darinruang yang bertumpu pada tembok yang membeku. Lebih bermakna waktu bagi membagi yang sebenarnya. #NeXT #JustIT
Leave a Reply