Selfie dan Jejak Digital
Satu malam saya dihubungi seseorang yang bercerita tentang informasi yang baru diterimanya. Dia dikabari oleh kawannya bahwa kawannya itu menemukan sebuah situs yang memberikan informasi negatif tentang dia. Tak jelas apa bentuk informasi yang disajikan, namun kawannya menyampaikan bahwa tautan laman tersebut sudah tidak bisa diakses lagi. Saya menanyakan ke dia apakah ada tautannya? Lalu apakah sudah melihat isi yang ditampilkan. Dia menjawabnya “belum”. Lalu saya juga bertanya, apakah ada informasi, baik teks, gambar maupun video yang pernah dia unggah terkait dirinya yang mungkin akan bisa dimaknakan negatif. Dia pun tak mengetahuinya. Entahlah, belum ada informasi lanjutan tentang cerita ini. Semoga bukan sebagaimana yang dikhawatirkannya.
Dunia digital hari ini telah membawa banyak perubahan. Dengan semakin murahnya gadget, maka semakin mudah bagi setiap orang untuk mendokumentasikan berbagai cerita, dalam bentuk teks, suara, gambar maupun video. Namun, sayangnya tidak begitu banyak yang memahami bahwa dunia digital saat ini adalah dunia yang dapat mengkonversi konten dengan cepat. Pun setiap yang telah diunggah, tak begitu mudah untuk dihilangkan dalam waktu cepat dan dengan cara yang mudah, sebagaimana menghapus tulisan di atas kertas.
Pengetahuan dalam memanfaatkan dunia digital, termasuk internet, hari ini yang masih minim, menjadikan begitu banyak konten yang dapat segera berubah makna, dari positif menjadi negatif, ataupun dari negatif menjadi positif. Perilaku selfie, misalnya, telah begitu mudah untuk menjadi ruang ekspresi bagi generasi muda hari ini, termasuk pelajar, untuk berupaya eksis di internet, dan berharap memperoleh sekedar like ataupun komentar yang menyenangkan sesaat.
Mungkin ada banyak cerita, sebagaimana yang pernah dialami olah Amanda Todd pada tahun 2012. Seorang pelajar yang memposting 9 menit video di situs berbagi video dengan judul “My story: Struggling, bullying, suicide, self harm” pada 7 September 2012, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dalam videonya dia menceritakan dengan lengkap kronologis cyber-bullying yang dialaminya, setelah dia diminta untuk memposting sebuah foto dirinya oleh temannya yang dikenalnya di internet. Dan foto itu terus menerus menjadi ‘teror’ baginya, hingga walaupun sudah beberapa kali berpindah tempat, ketakutannya tetap ada.
Bisa jadi apa yang dialami oleh Amanda Todd bukanlah peristiwa satu-satunya. Bisa jadi juga itu telah terjadi di sekitar kita, namun kita telah mengabaikannya. Pun selain peristiwa tersebut, kita akan dengan mudah membaca dan mendengarkan informasi berbagai kejahatan yang terjadi akibat interaksi menggunakan media sosial. Penculikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan, yang dilakukan oleh orang yang baru dikenal di media sosial. Dunia internet bukanlah sesuatu yang berbeda dengan dunia nyata yang dijalani. Namun, kecepatan dan kemudahan informasi yang diperoleh, menjadikannya sebagai alat yang cepat untuk berbuat jahat, ataupun berbuat baik.
Eksis dengan Selfie
Beberapa waktu ini, kita juga mendengarkan dialog di media sosial terkait dengan pernyataan bahwa selfie atau memoto diri sendiri dan mengunggahnya di media sosial itu haram. Saya cenderung untuk tidak terlibat dalam perdebatan tersebut. Bukan soal haram dan tidak haramnya. Namun, dunia digital hari ini telah menjadikan segala sesuatunya menjadi sangat mungkin. Kita mungkin juga pernah membaca berita terkait foto-foto palsu tentang seseorang, yang dimanipulasi dengan software pengolah gambar, yang akhirnya menjadikan foto-foto biasa menjadi foto-foto yang dikategorikan sebagia pornografi oleh UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pun didalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dikenai pasal 27 (1) dan 45 (1).
Tingkat ekspresi yang berlebihan dari pemilik gadget, cenderung untuk mengunggah foto diri ke internet. Dan dengan sadar, telah menyerahkan dokumentasi pribadi kepada publik. Dengan pengetahuan yang terbatas, sebagian besar berharap tetap dapat menghapus materi digital yang telah diunggah, dapat dihapus dan dihilangkan jejaknya dengan cepat di internet. Senyatanya, itu tak semudah itu. Jejak digital akan sangat sukar untuk dihilangkan.
Beragam foto, video, suara, bahkan teks, ketika sudah diunggah dalam jejaring internet, maka pada saat itu pula telah menjadi milik publik. Yang bisa saja tetap tersimpan rapi di server berbagai penyedia media sosial, ataupun penyedia server. Pun juga akan tersimpan rapi dalam perangkat digiital yang dimiliki oleh oerang lain. Karenanya, menjadi sangat penting untuk memahami bahwa setiap materi dalam bentuk apapun yang telah diunggah ke jejaring internet, akan terus bergerak dan berjalan. Yang pada waktunya, bisa jadi akan kembali ditampilkan, dalam bentuk apapun.
Bagaimana Berekspresi Dengan Lebih Baik?
Lalu, bagaimana untuk memulai berekspresi dengan baik di dunia digital hari ini? Cobalah untuk mencari informasi tentang sekolahmu di mesin pencari. Cobalah unutk mencari informasi tentang kotamu, tentang makanan yang kamu suka, tentang lagu daerahmu, tentang budaya etnismu, ataupun tentang pelajaran dan pengetahuan yang kamu suka. Berapa banyak informasi tersebut telah tersedia di jejaring internet? Apakah masih ada informasi yang belum tersajikan?
Ada banyak cara untuk mengekspresikan diri, bahkan untuk menjadikan diri semakin eksis dan dikenal di dunia saat ini. Bisa jadi dengan mulai menyajikan informasi sederhana tentang sekolah atau kampusmu. Cerita tentang bagaimana peristiwa menarik yang positif tentang sekolah ataupun kampusmu disajikan dengan baik di internet. Atau tentang cerita sederhana keseharian yang dilalui. Atau bila tertarik dengan pengetahuan bidang tertentu, tuliskan, dokumentasikan, dan bagikanlah itu melalui media sosialmu.
Tidak ada larangan untuk berselfie ria dan membagikannya di media sosial. Hanya butuh kesadaran bahwa setiap data digital yang telah didokumentasikan, dan telah diunggah di internet, dia tak akan mudah untuk dihilangkan.
Namun akan lebih baik bila mendokumentasikan cerita tentang kota, cerita tentang kebudayaan, cerita tentang sejarah, cerita tentang makanan, ataupun sekedar cerita tentang satu keluarga bekantan di ujung Jembatan Mahakam, yang saat ini entah bermigrasi kemana. Tidak juga harus berhenti berselfie, karena itu adalah hak setiap individu untuk melakukannya.
Atau mulailah untuk mengunggah karya-karyamu, dalam bentuk teks, suara, gambar ataupun video, yang akan menunjukkan apa dan bagaimana kapasitasmu. Orang tak akan mengenalmu bila dirimu tak pernah meninggalkan jejak digital tentang karyamu. Mulailah mengubah jejak digital dirimu hari ini. Ekspresikanlah dengan postiif, dan bisa dimulai dengan bercerita tentang karya ataupun tentang kotamu. Mari menselfiekan karyamu!
—
*) penulis adalah Kepala Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat STMIK Sentra Pendidikan Bisnis, Samarinda.
Leave a Reply