Tak Boleh Bermain-main di Kampus
Kampus merupakan tempat belajar dan mengembangkan kegiatan akademik, bukan tempat bermain-main. Begitulah kurang lebih yang bisa digambarkan oleh dunia kampus hari ini, dengan melarang para Pokémon Trainer untuk mencari ataupun melatih Pokémon-nya. Dalam diskusi di mailing-list internal kampuspun, komentar serupa diungkapkan. Bisa jadi benar. Karena ini merupakan lembaga pendidikan tinggi, maka ada tiga tugas utama yang diembannya, melakukan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Hingga saat ini, saia masih merelakan ruangan saia, tempat untuk mengelaborasi pilar pendidikan tinggi itu, menjadi tempat bermain para pembelajar Dota. Saia sebut pembelajar, karena memang mereka bukan petarung, apalagi pemenang, karena sangat jarang untuk menjadi menang. Namun, ruangan itu, berikut dengan akses internet yang luar biasa, masih saia relakan untuk mereka yang bermain permainan online, ataupun sekadar untuk bermain-main jejaring sosial.
Masih terekam dalam ingatan saia, ketika kami membangun sebuah komplek bangku taman dari bekas empulur kayu yang telah dikupas menjadi lembaran veneer, di pekarangan sebuah fakultas. Lalu kemudian, bangku taman dibuat oleh masing-masing golongan ataupun kelompok, dengan cara dan kreativitas masing-masing. Dan mulailah diwarna. Sehingga akhirnya, bangku-bangku di bawah tajuk akasia dan jati itu, menjadi sangat berwarna. Biru, abu-abu, hingga merah muda. Bisa jadi warna yang lain tak terlalu bermasalah. Karena kemudian kelompok merah muda ini menggambari bangkunya dengan gambar-gambar lucu, mulailah para dosen berkomentar, “Ini kampus kayak taman kanak-kanak aja“.
Tidak hanya berkomentar. Gerakan untuk memusnahkan bangku-bangku itupun mulai berlangsung. Namun, pertahanannya masih cukup kuat, hingga masih bisa bertahan hingga kami tak bertahan lagi di kampus. Wajarlah kami membuat wadah permainan sendiri di kampus. Saat itu gadget masih sangat langka, apalagi mau bermain Pokémon Go. Jejaring sosial pun hanya friendster, yang belum terlalu tenar. Permainan paling keren saat itu hanyalah truf ataupun jenderal, sesekali catur. Lalu apa yang aneh dengan bangku warna-warni di pekarangan sebuah fakultas?
Saia masih sangat ingat para penidaksuka terhadap keberadaan bangku taman itu. Mereka merasa terganggu dengan keberadaan para pembincang di bangku taman. Walaupun, saat perkuliahan, tak ada pula yang berada di sana, apalagi saat matahari mulai membakar di antaranya. Artinya, sebenarnya tak ada keriuhan di sana. Namun tetap saja, warna-warni itu dipandang sebagai kekanakkanakan, belum dewasa, dan menjadikan citra kampus seperti taman bermain.
Dari bangku taman itulah revisi Undang-undang Kehutanan, yang kemudian bernomor 41 di tahun 1999 itu dibahas. Di bangku taman itu jualah kehadiran model lembaga kemahasiswaan baru, yang menganut sistem pemilihan langsung, dan kembali mendekatkan dengan pola Ikatan Keluarga Mahasiswa. Di bangku taman itu jualah lahir beragam kegiatan baru kemahasiswaan, mulai dari turnamen sepakbola internal fakultas, internal kampus, hingga antar kampus, beragam pertandingan olah raga lainnya, kegiatan seminar nasional, hingga pada kelahiran model baru pengenalan kampus. Itu bukan bangku kosong yang kekanakkanakan. Itu adalah bangku perubahan. Utamanya mengubah cara pandang kampus terhadap warna dan tempat berkumpul, yang nyaman dan disiapkan oleh mahasiswa sendiri.
Surat Edaran Rektor Universitas Mulawarman, kabarnya dikeluarkan karena gangguan yang dilakukan oleh Pokémon Trainer yang banyak berkumpul di seputaran Rektorat, sehingga dapat mempermalukan kampus, bilamana dilihat publik. Rektorat kok jadi tempat mengumpulkan Pokeball ataupun melatih Pokémon. Padahal ini dapat menjadi potensi luar biasa. Gedung Rektorat yang dikunjungi mahasiswa dapat menjadi ruang komunikasi antara pemimpin kampus dengan warganya. Sediakanlah akses internet yang baik, arahkan membangun tempat berkumpul yang tertata, bagikanlah pengetahuan lebih tentang teknologi informasi, technopreneurship, knowledge development, hingga beragam hal lain yang sangat mungkin dilakukan. Inilah kesempatan besar membangun iklim akademis yang dimimpikan.
Ada pekerjaan yang tak pernah diselesaikan oleh dunia akademik negeri ini. Pertama adalah melakukan penelitian hingga membangun teori baru, bukan sekadar pengujian teori. Kedua adalah mengabdikan hasil penelitiannya kepada masyarakat, sebagai bentuk membangun masyarakat di lingkungan dan sekitarnya, hingga masyarakat yang lebih meluas. Praktik yang dilakukan hingga hari ini adalah menyerap pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh masyarakat, lalu mengadopsinya menjadi lembar-lembar artikel jurnal, bahkan hak kekayaan intelektual, lalu kemudian menegosiasikannya dengan bisnis. Beban berat seorang dosen adalah bekerja bukan hanya sekadar pada pilar pengajaran semata. Itulah makanya, saia masih belum terlalu mampu menyebutkan diri sebagai dosen, hanya mampu menyebutkan diri sebagai staf pengajar.
Kampus, saat ini, tak lebih dari miniatur negara yang carut-marut. Lebih kental dengan nuansa politik dan bisnis, dibandingkan dengan nuansa akademik. Mimbar-mimbar kebebasan akademik sudah semakin jarang terlihat. Kerumunan mahasiswa selalu dipandang sebagai hal yang tidak postif. Diskusi-diskusi kajian melalui proses penyaringan, hingga hanya teori-teori yang dapat diterima yang didiskusikan. Proses-proses pemilihan pemimpin kampus, tak lebih dari proses politik, yang juga menggunakan beragam kekuatan, yang serupa dengan proses pemilihan anggota legislatif ataupun pemilihan kepala daerah.
Mengembalikan roh kampus, yang dibiayai oleh negara, kepada mimpi kecilnya saat didirikan, mungkin sudah semakin sukar. Karakter dan kultur yang telah terbangun puluhan tahun, bagai merupa sebuah patung dari batuan kryptonik. Tetes air saja tak akan mampu meluruhkannya. Hentakan keras pun belum tentu dapat mengubahnya. Hanya sebuah keyakinan semu, yang masih meyakini akan ada perbaikan.
Proses pembelajaran yang tak mengikutsertakan perkembangan teknologi masa depan, akan melahirkan generasi yang stagnan. Ketika lulus, kemudian menjadi gagap terhadap situasi yang dihadapi. Memang pun tetap diperlukan pondasi dasar teori, terutama untuk membangun konstruksi dasar pengetahuan dan teknologi yang akan dikembangkan. Rentang pengetahuan aplikasi harusnya tak lebih banyak dibandingkan beragam teori yang telah ada. Agar kemudian robot intelektual yang dihasilkan lebih berisi dan berbobot.
Butuh satu klik, agar kemudian robot intelektual dapat menjadi humanized robot. Robot yang kemudian memiliki kecerdasan buatan dan mampu menggabungkan augmented reality ke dalam realitas sebenarnya. Hingga kemudian, kampus bukan lagi industri penghasil robot intelektual, namun melahirkan inovator, technopreneur, dan generasi yang memiliki kecerdasan sosial, yang pastinya tidak akan selalu duduk manis menunggu Pokémon datang menghampiri, namun mengejar dimana Pokémon itu berada.
Generasi masa datang negeri ini dibentuk oleh pendidikan dasar dan menengah yang membahagiakan dan mencerdaskan. Generasi itu kemudian diperkuat oleh pengetahuan dan teknologi dasar dan menengah di pendidikan tinggi. Industri bukanlah lagi semata yang menunggu teknologi buangan dari negara industri, namun merupakan industri yang dibangun oleh generasi negeri ini. Kampus, jadikanlah ia sebagai taman yang indah dan menyenangkan, dimana setiap warganya dapat duduk, bermain, sambil belajar dan berinovasi, di setiap ruangnya. Tak perlu lagi menciptakan kampus yang dipenuhi dengan larangan dan perintah. Bangunlah sebuah kampus yang bersahabat, penuh apresiasi dan ladang mencipta bersama. Begitu deh.
Leave a Reply