transkrip itu …
pekerjaan menranskripkan sebuah perbincangan itu memang tak mudah. kehilangan satu kata saja bisa bermakna berbeda. makapun penghargaan terhadap mereka yang bekerja pada hal tersebut harusnya lebih ditingkatkan. kasus penranskripan video pemimpin suatu wilayah saat berdialog dengan warga di salah satu kepulauan menjadi sebuah contoh sederhana. ada satu kata yang hilang, yang kemudian menjadi pemaknaan baru.
sejak tahun 2000 bekerja sebagai tukang ketik atau notulis, selalu dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang sederhana. padahal, untuk merekam setiap kejadian dalam bentuk tulisan, bukanlah sebuah pekerjaan sederhana. belum termasuk gangguan suara dari sekitar, yang bisa menghilangkan kemampuan mendengar.
awalnya hanya dibayar dengan Rp 50 ribu dalam 6-7 jam pertemuan. Lalu tahun 2016 ini, pekerjaan ini dibayar dengan angka Rp 350 ribu untuk waktu yang sama. belum terlalu membaik penghargaan finansial terhadap tukang ketik, yang bilamana melakukan transkripsi pertemuan dalam satu hari, bisa mencapai 40-60 halaman A4 spasi 1 font 11.
pekerjaan yang seolah tanpa skill ini pun semakin tak digemari. hanya sedikit yang bersedia menjadi pekerja ini. padahal, sebagai sebuah rekaman proses, pekerjaan ini menjadi penting. ketika kemudian ada penyangkalan terhadap hasil keputusan sebuah pertemuan ataupun untuk melihat risalah pertemuan sebelumnya, transkrip ini menjadi penting.
saia sendiri menilai pekerjaan ini sudah harus diangka Rp 1,5 juta untuk waktu 7 jam pertemuan. namun, ketika naik di angka Rp 500 ribu saja, sudah banyak yang merasa ini terlalu mahal. padahal, bila mereka mengerjakannya, untuk 7 jam pertemuan, diperlukan waktu 3 x 8 jam untuk menyelesaikannya. artinya, sebenarnya itu adalah biaya yang wajar. saia sendiri hanya bersedia untuk melakukan pekerjaan ini lagi dengan harga EUR 1,500 per 7 jam.
Leave a Reply