Apa kabar @infopubliksmr ?
Samarinda sebenarnya sudah memiliki 10 kanal informasi publik. Mulai dari twitter, facebook, SMS, surat, telepon, hingga email dan website. Sejak diluncurkannya pada tahun 2013, entah berapa banyak warga Samarinda yang telah mengetahui ataupun menggunakannya. Pastinya akun facebooknya terakhir pada Desember 2015, sementara akun twitternya berakhir di Februari 2014.
Walaupun informasi di lamannya adalah informasi terbaru, namun ketika melihat bagian informasi anggaran, maka hanya terpampang bagian dummy dari laman tersebut.
Termasuk juga, bila ingin mengakses e-musrenbang yang dikelola oleh Bappeda Kota Samarinda, hasilnya tak jauh berbeda.
Jangkar dari pelaksanaan dari SmartCity adalah partisipasi warga, termasuk partisipasi melalui internet. Inisiatif yang sudah cukup bagus dari pemerintah kota ini, sebenarnya menjadi tidak terlaksana karena memaknakan Sistem Informasi hanya dikunci pada software development. Padahal, sebuah sistem informasi yang baik harus juga ditopang oleh Kebijakan (Policy), Sumber Daya Manusia (Human Resources), Perangkat Keras (Hardware), Perangkat Lunak (Software), dan Jaringan (Networking).
Ketikan kemudian aplikasi sudah tersedia, lalu tak ada sebuah model komunikasi data yang dilingkupi dengan kebijakan yang kuat, maka sudah pasti, konten dari aplikasi menjadi tiada. Dan sebuah proses integrasi terhadap sistem ke dalam sistem publik, juga membutuhkan sumber daya manusia yang tepat dan memang ditugaskan untuk hal tersebut. Bukan semata menempatkan paruh waktu dalam pengelolaannya. Pun terhadap kemampuan dan kapasitas perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan, harus sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Selanjutnya, hal yang juga penting dibangun adalah protokol data, hingga keamanan data. Soal confidentiality, integrity, dan availability, setidanya menjadi prasyarat dalam hal keamanan data. Pun terhadap non-repudiation, authentication, access control dan accountability, menjadi bagian yang penting diperhatikan dan disiapkan sejak awal merancang aplikasi tersebut. Serta, bagian yang paling kerap dilupakan dalam perencanaan adalah disaster recovery management.
Kelemahan penerapan SmartCity adalah keluguan pemerintah dalam upaya menerapkannya. Dan kondisi ini tidak diikuti dengan keinginan untuk melakukan pengembangan secara komprehensif, dan pelibatan lebih banyak pihak. Pola penganggaran pemerintah yang melalui proses pelelangan, kemudian hanya menghasilkan sebuah produk tanpa makna. Padahal, dengan mengembangkan model aplikasi yang melibatkan lebih banyak pihak, akan memberikan dampak yang berbeda terhadap output, maupun outcome dari aplikasi yang dikembangkan.
Maka, sebenarnya ketika infopubliksmr dikembangkan dengan roadmap yang jelas dan melibatkan para pihak, tentunya tak akan ada SMS ataupun pesan di media sosial yang menuju langsung pada walikota ataupun pejabat publik kota lainnya. Warga yang ingin memperoleh informasi ataupun memberikan aspirasinya, tentu akan lebih nyaman untuk menggunakan kanal formal yang dikembangkan. Dengan catatan, juga memperoleh respon yang cepat dan tepat dari pengelola, dari tingkat operator sampai level pengambil keputusan.
SmartCity bukanlah sekadar aplikasi berbasis mobile. SmartCity adalah pencapaian kota layak bagi warga, sebagaimana yang telah dimuat di dalam RPJPD Kota Samarinda 2005-2025. SmartCity pun bukan sekadar akses aplikasi oleh kelas menengah ke atas, namun lebih jauh dari itu, kelompok marginal dalam proses pembangunan juga wajib memperoleh akses yang berkeadilan. Maka pun, pilihan untuk pendekatan hybrid dalam mengembangkan SmartCity merupakan jembatan antara menuju SmartCity yang sebenarnya.
Leave a Reply