bahasa bodoh

Penggunaan bahasa sudah semakin menuju ruang baru. Butuh penerjemahan yang baru terhadap model baru pembahasaan yang digunakan. Berubahnya pola pembelajaran bahasa, membawa kita pada model-model bahasa yang inginnya baku, malah menjadi membeku.

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang disempurnakan, bisa jadi tak pernah lagi menjadi rujukan. Hasilnya semakin ‘sakit’ membaca tulisan-tulisan yang dibuat oleh generasi Z. Apalagi dengan kelahiran generasi 4l4y3r5 dan generasi smes, semakin menyulitkan membaca setiap tulisan yang dihasilkan.

Belum lagi, kemalasan untuk mencari padanan kata yang tepat, hingga kemudian muncul istilah-istilah baru yang memiliki pemaknaan berbeda, hanya karena kelebihan, kekurangan, ataupun penggantian vokal pada kata. Inilah risiko yang harus ditanggung oleh generasi X dan sedikit generasi Y. Harus melakukan penyesuaian mendalam terhadap generasi Z, pun terhadap generasi AA yang memperoleh pembelajaran dari generasi Z.

Level Bodoh dan Kaya

Pintar itu ada batasnya” ujar Amay Jaya. “Setelah menjadi sarjana, ada master, lalu doktoral. Kalau lebih pintar akan berhenti pada profesor. Jadi pintar itu ada batasnya. Sedangkan bodoh itu nggak ada batasnya.

Membaca kebodohan, kepintaran, dan kecerdasan, tentunya sangat bergantung pada perspektif yang dimiliki oleh setiap individu. Bila ingin diurai, kebodohan itu berdiri pada level-level yang terus tanpa berhenti.

Menurut Amay Jaya, Acil Irien dan Cil Ellie, maka level kebodohan itu:

  • Level 1: Dungu
  • Level 2: Bungul
  • Level 3: Bodoh
  • Level 4: Bodok
  • Level 5: Tambuk
  • Level 6: Buntat/Bebal
  • Level 7: Hungang
  • Level 8: Mantul
  • Level 9: Bontok

Dan tentunya level-level itu juga masih akan terus berkembang, dan selalu terbuka kata-kata baru untuk penyebutannya. Demikian pula halnya kekayaan, itu tanpa batas. Sedangkan kemiskinan, akan terhenti pada satu titik, ketika tiada apapun yang dimiliki. Maka, berdasarkan ngawurologi, menjadi bodoh bila kaya, karena keduanya tak ada batasnya. Dan ketika menjadi pintar, maka menjadi miskin pun.

Belajar tanpa Belajar

Pendekatan yang paling diharapkan oleh lebih banyak individu adalah dapat menjadi sesuatu tanpa melalui proses apapun. Bisa menjadi kaya dalam sekejap, bisa menjadi pebisnis dengan sekali tepukan, pun menjadi lulus tanpa harus ujian. Tak rumit memang. Ada cara untuk melampauinya. Namun tentunya etika dan hukum masih belum menerima ini sebagai bagian yang diwajarkan.

Proses adalah hal yang dibutuhkan dari setiap tujuan. Ingin menjadi seorang wirausaha, tanpa pernah melakukan usahanya, menjadi sebuah ruang keberuntungan. Walaupun tentunya, keberuntungan tidak pernah abadi. Selalu ada putaran roda yang berhenti dan tecelobok di genangan yang tak mengenakan.

Enak sih kamu, apapun gampang aja itu.” Ungkapan ini menjadi sering ditemukan, karena kemudian mencoba memperbandingkan perjalanan 10-15 tahun dengan sebuah proses satu hari. Lupa kalau ada tahapan dan proses yang telah dijalankan, tidak serta merta, dan telah melalui beragam musimnya. Hingga kemudian, pola berbagi dalam sebuah seminar satu hari, hanyalah sebagai pemantik, yang diharapkan dapat menyalakan api kesemangatan, agar kemudian terus menyala dan dijaga bahan bakarnya.

Sehingga, janganlah terlalu mempercaya apa yang disampaikan dalam satu artikel ini semata. Pun terhadap ungkapan di dalam sebuah seminar ataupun workshop sehari. Selalu ada sisi kedua yang butuh dieksplorasi dengan lebih teliti, agar kemudian menemukan makna dan perspektif. Sehingga kemudian meramunya berdasarkan mimpi yang dibangun. *Selamat berlibur panjang tanpa meliburkan jiwa*

 

2 comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.