segelas kopi

belajar pada kopi

Orang kita itu tahunya kopi itu pait” kalimat ini berulang saya dengar ketika berbincang dengan kawan-kawan pembelajar kopi. “bangsa kita pun tak sadar selama ini didorong hanya unutk menikmati robusta, sebagai indikator kopi nikmat, sementara jenis arabica selalu diekspor“. Ada banyak pembelajaran dari kopi, baik biji hingga tetumbuhannya dan nilai-nilai yang ada dan terbangun karenanya. Tersaji cerita dominasi persepsi, penipuan berjangka abad, hingga model perlawanan yang mulai terbangun.

Bila sebagian bersepakat bahwa kopi itu harus pait dan disajikan dengan air yang masih mendidih (sekitar 100 derajat celcius), tak ada yang salah dengan itu. Karena memang selama ini yang dibangun dalam beragam tempat di negeri ini adalah seperti itu. Dengan kopi jenis robusta yang memiliki ciri pahit dalam rasanya, ditambah dengan sentuhan dengan air mendidih, maka sempurnalah kepahitan yang dihasilkan. Dan itu nikmat, bagi sebagian besar warga negeri ini.

Baru ketika peradaban cofffebuck hadir, mulailah arabica menjadi salah satu rasa yang berbeda. Lalu ketika espresso sebagai salah satu dasar penyajiannya menghadirkan rasa pahit, maka samalah pula persepsinya. Kopi itu pait. Pun kemudian, pada sebagian besar cafe, jauh lebih banyak yang menikmati derivasi dari espresso, dibandingkan espressonya sendiri. Karena volume saji yang terlalu sedikit, ataupun enggan merasakan kesempurnaan rasa yang diolah dengan mesin penyajinya.

Peradaban cafe sepertinya belum beranjak, lalu hadir peradaban penikmat kopi. Eksplorasi rasa kopi pun mulai dilakukan. Laboratorium atau apapun namanya tentang kopi mulai hadir. Dari bagaimana menanam, memanem, pengolahan pasca panen, pemasakan, hingga penyajian. Ada seni dan pengetahuan yang beradu di dalamnya. Ketika rasa kemudian dieksplorasi dengan lebih detail, hingga bertemulah rasa-rasa yang selama ini diabaikan dari kopi. Asam, floral, kacang, buah, rempah, hingga tanah. Pun selalu ekplorasi belum berhenti.

Proses penanaman, pada tanah dan jenis yang ditanam pun digali lebih mendalam. Varietas kopi yang tak hanya robusta dan arabica, masih pun ada ekselsa dan liberica, sebagai jenis kopi yang belum terlalu banyak dieksplorasi, mulai kembali digali. Pun dengan baragam varietas dari masing-masing jenis itu. Proses distribusi biji kopi pun tak lagi dari wilayah tanam, namun lebih dalam, pada siapa yang menanamnya. Maka kemudian telah muncul nama-nama varian merek kopi yang beragam, bahkan dengan gambar sang petani. Sebuah lompatan yang menakjubkan. Bahwa ada interaksi tak langsung antara petani dengan penikmat kopi.

Dalam proses pengolahan biji kopi pun dikenal beragam cara. Mulai dari natural (kering), honey (semi kering), hingga washed (basah),  yang diharapkan akan menemukan sensasi berbeda pada saat menikmatinya. Proses penyangraian biji kopi pun dieksplorasi lebih detail, hingga setiap roaster pasti akan memiliki cara dan karakteristik sendiri. Pun model pencampuran komposisi biji (blend) juga menjadi bagian yang masih terus dieksperimenkan.

Pada sisi penyajian, melalui penyajian bermesin, penyajian dengan alat manual, maupun dengan model yang umum di kenal di negeri ini (tubruk) memiliki ruang eksplorasi yang besar. “Setiap tangan yang mengolah, akan menemukan rasa yang berbeda,” begitu ujar para penikmat kopi. Ada beragam alat-alat manual maupun mesin, yang dapat digunakan, dan kesetiap perangkat tersebut juga akan menghasilkan rasa yang berbeda. Ada soal waktu, suhu, model pengadukan, hingga ukuran bubuk kopi yang digunakan. Menyajikan kopi yang terbaik adalah dari proses belajar yang tak akan berhenti.

Pun pada daun kopi, sebagian warga negeri ini telah menyajikannya dalam bentuk teh, hanya karena keterbatasan akses pada biji kopi. Penguasaan kebun dan kopi, telah menjadikan pertemuan pada rasa yang diharapkan. Menikmati seduhannya, menjadi hal yang tak hanya terjadi di negeri ini, dapat bertemu juga pada belahan benua berbeda.

Belajar Dari Kopi

Kopi, tak seperti kehebohan atas batu-batu akik hingga batu mulia. Ketika batu telah berhasil mempertautkan relasi baru antar tetangga hingga dengan orang baru, maka kopi mempertemukan sebuah proses pembelajaran yang mungkin lebih mendalam. Semakin mengenal kopi, maka akan terbawa pada proses pembelajaran yang lebih mendalam.

Bagaimana sejarah negeri ini yang dibangun dalam catatan perjalanan kopi, akan dapat ditemukan diantara cerita tentang rasa. Bagaimana teknologi yang tak berkembang di negeri ini pun, telah menjadikan belum adanya sebuah metoda penyajian kopi yang menjadi khas negeri ini. Walaupun mungkin, teknik penyajian tubruk-plus, yang mencemplungkan arang membara pada sajian kopi tubruk, dapat menjadi sebuah model penyajiaan khas negeri ini. Namun eksplorasi baru masih dimungkinkan, hingga kemudian menemukan cara khusus untuk menyajikannya.

Kopi pun memberikan pembelajaran tentang sejarah peradaban yang terjadi pada beragam wilayah negeri. Dari bagaimana negara lain mengintroduksi, penanaman berdasarkan proyek, hingga kegagalan untuk menemukan pasar. Kopi menjadi catatan peradaban kampung, yang pastinya tetap menjadi sebuah pertemuan antar penikmatnya. Lalu, bagaimanakah peradaban kopi Samarinda? Mari mengeksplorasinya.

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: