Gratifikasi Sepotong Kue
Satu waktu saya ditanya tentang sepotong kue yang pernah tayang dalam sebuah media sosial yang saya gunakan. Sepotong kue itu hadir pada sebuah event berbagi pengetahuan. Dia membawa kue tart berhiaskan lilin yang menyala. Lalu seorang kawan yang mengabadikan peristiwa tersebut memberikan fotonya ke saya dan lalu saya mengunggahnya.
Kali ini bukan soal kepemilikan foto, karena saya telah memperoleh hak untuk mempublikasikannya. Tapi sebuah pertanyaan terhadap peristiwa itu. Sepertinya, sangat diingat oleh mereka yang mencoba mencermati aktivitas media sosial saya. Entahlah, mengapa kemudian aktivitas yang tak terlalu penting ini juga masih menjadi bagian dari perhatiannya.
Minggu lalu, saya sempat berbincang dengan kawan-kawan pegiat kebebasan berekspresi online tentang penyadapan dan privasi. Dan ada banyak fakta yang mengejutkan. Bukan sekadar bahwa begitu mudahnya alat penyadapan, berikut teknologi terbarunya dapat dengan mudah dan bahkan murah untuk diperoleh. Bukan punya soal dipasangnya teknologi penyadapan pada jaringan telco. Namun juga soal begitu terbukanya kita, termasuk saya, membagikan peristiwa yang terjadi di sekitar. Para pertemuan itu, juga saya belajar banyak tentang bagaimana melakukan pemantauan dan menghindarinya.
Disadari atau tidak, media sosial telah mengubah cara dan model komunikasi yang dilakukan oleh setiap kita. Setiap dari kita ingin mencoba sangat eksis di media sosial. Apapun aktivitasnya, selalu ingin diceritakan pada semua. Pun sejak bangun tidur, hingga kembali tidur. Bahkan, bilamana ada media sosial yang dapat digunakan sambil tidur, akan ada pembaharuan informasi dari setiap kita pada dunia.
Tak semua orang perlu tahu apa yang kita lakukan. Karena tak semua orang juga ingin mengetahuinya. Walau kembali, infotainment ataupun sosmedtainment memiliki daya tarik tersendiri. Hingga kemudian, pengaturan privasi menjadi tak perlu diperhatikan, hingga pada waktunya tersadar bahwa ada ‘ancaman’ yang hadir pada hari kita.
Bulan lalu, saya juga berbincang dengan seorang kawan, tentang kekhawatirannya terhadap postingan tentang dirinya. Dia tak melihat dan menyaksikan sendiri, hanya diberitahukan oleh kawannya. Lalu kawannya berujar “tautannya tidak bisa diakses lagi“. Pertanyaan saya kemudian menjadi sangat sederhana, “ketika kemudian tidak pernah ada fakta, dan tidak pernah mengambil gambar yang tidak perlu dipublikasikan, maka kekhawatiran itu menjadi tak penting“. Namun, kebiasaan selfie, apalagi kemudian dipublisikan terbuka di media sosial, dapat menjadi bom waktu ancaman di masa datang.
Kembali pada cerita sepotong kue tadi. Menjadi sangat menarik ketika ada ketertarikan dari seseorang untuk memantau apa yang terjadi pada diri kita. Apalagi terkait dengan perubahan-perubahan yang dilakukan, kegiatan yang memberikan dampak, ataupun sekedar berbagi pengetahuan. Akan tetapi, tak terlalu menyenangkan bila proses pemantauan dilakukan hanya demi sebuah tanda tanya yang tak jelas bagaimana memperoleh jawabannya.
Sudahlah. Itu hanya sepotong kue. Tak berkaitan dengan bagaimana relasi yang telah ditorehkan. Bukan pula pada gratifikasi akan sesuatu, karena tak ada pula yang berdampak pada kekuasaan yang tak dimiliki. Kue itu hanya sebuah cara untuk menunjukkan bagaimana berbagi itu memberikan dampak. Entah tentang apa ataupun pada siapa. Kalaupun masih ada kue yang ingin dibagi, mari membagikannya disini.
Leave a Reply