sandaran itu …
Sandaran itu telah lama menemani. Membisu dalam kesunyiannya menikmati himpitan dan tekanan keras padanya. Tak ada omelan, pun makian. Apalgi kemudian harus berpkir untuk melakukan perlawanan dan pemberontakan.
Hari Minggu Bulan Tahun. Menyerap segala aroma yang disajikan. Membasah hingga mengering. Terkadang pun remah-remah nutrisi menyelip di selanya. Segala reaksi kimia dan fenomena fisika berlangsung perlahan.
Pagi ini, kebusukan terungkap. Tak ada pilihan tertuduh. Sandaran itu satu-satunya yang dapat dijadikan tersangka. Bilah tajam pun mengiris ikatannya. Memburai kedekatan yang berlangsung selama ini. Menggantikan kenikmatan dengan kenikmatan baru.
Kesadaran semu yang dimiliki oleh anem indera mulai diganggu. Amarah bangkit sesaat, lalu beteriak lantang, “Lawan!” Harus segera dimusnahkan Sandaran yang mengganggu keindahan hari. Ia adapun musuh terbesar dalam ruang ini.
Sekejap melupa. Dengan kesederhanaannya, kepingemas itu mengalir, setelah auranya memberikan semangat bergerak. Dengan keempukannya, kepingemas bergemerincing, lalu menjafi sesapan sumsum ternikmat. Dengan aromanya, kepingemas mengisi kekosongan celengan babiterbang di sudut ruang itu.
Pun sejak awal sudah dipahamkan. Sandaran itu menyimpan kebusukan. Namun kepingemas itu samgat dibutuhkan. Seolah tak ada lagi pilihan untuk mendatangkannya. Irama kepingemas telah membutakan, membisukan, pun membungkamkan, hingga membuntukan syaraf pembau. Nikmat aja segalanya. Hingga syaraf sadar disentuh, dan sekejap, pilihan memusnahkannya menjadi satu-satunya jalan.
“Ini pasti konstipasi!” Sandaran telah menistakan. Dia harus segera diperabukan. Anem indera sudah tak mampu mempertahankannya lagi. “Goyang dia!”
Sementara, kepingemas di perut babiterbang itu, berselaput korupsi, dibaluri wewangian kata yang dikutip dari buku tua di sudut meja. Taburan rempah-rempah hasil penjarahan abad lalu menguraikan sensitifitas anem indera pada aroma ambutan yang menyedap dalam kepingemas itu. Kepingemas itu mengalirkan airmata kegelisahan yang tak kunjung usai. Siksaan yang menjadi kenikmatan, yang dirasakan batir, menjadi bumbu terenak yang hadirkan aroma terbaik kepingemas. Laku baring, yang memupuskan hak sesama pun, bukanlah masalah.
Karbohidrat, yang mengaliri darah ini, dan darah bédhang hingga darah batih, membawa serta kebusukan berkelanjutan itu. Kepingemas buah berbual, yang dihadirkan dengan permakluman, dan selama ini telah memberikan kenikmatan semu, telah membeku dan merasuk sukma. Lalu, masih dengan busung dada, berujar “Kamilah Kewangian itu.”
Sandaran telah menjadi abu yang tersapu ijuk. Sela pembaringan tak menjadi tempat berlindung yang nyaman. Sejenak dikenang, lalu segera dilupakan. Tak ada penyesalan yang perlu diorasikan. Mengugurkan kewajiban, telah usai dijalankan. Tak jua perlu pigura berselaput emas untuk mengabadikannya. Vonis telah dijatuhkan, “Sandaran, kau telah bersalah karena membaukan kebusukan di mayapada ini.“
Leave a Reply