Teks Konteks
Tiga jam perjalanan saia dari kota pengindustri menuju kota pengadministrasi di timur Kalimantan. Masih belum ada hal baru di sepanjang perjalanan, kecuali harga buah naga yang semakin merangkat turun. nanas masih terus meluaskan jelajahnya, hingga di punggung perbukitan. Pun mobil-mobil pengantar karyawan tambang masih setia menanti di tepi ruko-ruko. Mungkin warung padang yang mulai ramai dan warung soto banjar yang mungkin tak akan lagi buka, menjadi pembelajaran baru bagaimana sebuah bisnis itu bekerja.
Cerita perjalanan bagaikan siaran radio. Pengantar saia adalah seorang yang pernah menjadi bagian dari perebutan kursi parlemen nasional, bukan di urutan pertama, namun kelima, yang saat ini partainya dari wilayah pilihan ini, hanya memperoleh satu wadah di senayan. ia cukup lugas menceritakan ketidakadaan sumberdaya yang menjadi awal kekalahannya, “Saya sampaikan ke DPP, saya akan dapat 105 ribu suara.” “Lalu dapat berapa pak?” tanya saia. “dapat tiga ribuan lah“, ujarnya. Ya, tiga ribu bukan angka yang sedikit untuk penebaran kartu nama tanpa lampiran yang dilakukannya.
Ia pun dengan gembira menceritakan tentang mudahnya presiden hari ini membalas pesan singkat yang dikirimkannya saat lebaran tahun lalu, di saat belum dilantik sebagai presiden. Lebaran kali ini, “Bukan cuma tak dibalas, mungkin SMS saya nggak dibalas,” katanya. “Ini foto saya saat dia ke kota ini. Teman saya memfotonya, lalu saya minta, karena nggak mungkin saya yang memfotonya,” ujarnya sambil menunjukkan foto ia dan teman-temannya saat bersama dengan calon presiden saat itu, dari gadgetnya. Ingin saja saia mengucapkan, “kenapa nggak laporpresiden.id aja pak?”. Namun belum sanggup itu saia sampaikan padanya.
Perjalanan ini menjadi sangat melelahkan. Cerita-cerita yang dibangun, seperti sebuah cerita kegelisahan yang tak pernah usai. Tentang korupsi, tentang hukuman mati bagi terdakwa narkoba, tentang proses pencalonan walikota yang harus bermaharkan hingga 50 miliar untuk memperoleh perahu, tentang seseorang yang siap memberikan uang 250 miliar untuk calon walikota yang mau berkolaborasi dengannya, hingga tentang semakin sulitnya persaingan transportasi karena mamalia pelompat itu kian mengambil pelanggan transportasi personal.
Pada konteks, saia bertemu dengan semangat yang tak usai dari ia. “Saya ini aktivis lho pak,” ujarnya berulang. Ia masih dengan riang menceritakan konsep dan rencananya. “Saya sudah siap mendeklarasikan laskar serutan pensil pak. Nanti kita akan deklarasikan di Jakarta. Biar media meliput. Dan lalu bisa mengawal dana aspirasi. Dapat sepuluh persen saja sudah lumayan itu pak”, ungkapnya dengan mata berbinar. Saia hanya sanggup untuk mengiyakan. Bila saia berkata tidak, bisa jadi saia tak sampai ke peraduan saia sore ini.
Saia sangat merasakan di usianya yang sudah lepas setengah abad itu, dengan odong-odongnya yang mengantarkan saia ini, ia masih sangat ingin ada perubahan. Bukan bagi negeri ini, bukan bagi bangsa ini, namun bagi dirinya, agar ia bisa menjadi pengganti anggota parlemen bagi partainya di senayan, yang tentunya harus menunggu entah berapa kali kematian ataupun ditangkapnya para pengganti di atasnya. “Siapa tahu pimpinan partai khilaf pak. Lalu surat PAW itu ditandatangani dengan menyebutkan nama saya,” ujarnya.
Semangat ini menjadi berbeda ketika kembali pada kebiasaan. Ada sebuah semangat menjadi artis bagi sebagian aktivis. Hanya untuk diliput media dan kemudian cukup bangga ada sebuah kliping yang bisa dibingkai di dinding kamar. Pun tak cukup sabar untuk membaca teks, hingga mencoba untuk memahami konteksnya. Hanya sebuah euforia terhadap capaian sejengkal, tanpa pernah berpikir untuk meraih mimpi yang sebenarnya.
Ini serupa dengan sebuah email yang saia peroleh dari groupmail. Akan ada diskusi tentang kegelisahan kemunduran gerakan non-pemerintah. Entah mengapa, Jakarta pun tak lagi cukup memiliki orang-orang yang berelasuka untuk bermimpi bersama. Hanya mereka-mereka yang direkrut, dibayar setiap bulan, lalu disibukkan dengan laporan-laporan yang melelahkan. Lima tahun setelah tak memperoleh manfaat langsung pun masih tetap harus menjaga lilinnya.
Saia cukup kerap untuk mencoba membangun penilaian sendiri terhadap mimpi yang dibangun mereka yang berorganisasi dan kabarnya bergerak non-profit, non-government, dan mempunyai visi yang luar biasa itu. Cara sederhana melihat adalah seberapa kerap dompet mereka dibuka untuk sebuah semangat urunan yang selalu digaungkan. Catatan kecil saia, tak satukalipun itu terjadi. Pun ketika tak ada fasilitas untuk mempercepat bergerak, keluhan berulang diucap, hingga kemudian fasilitas itu tersediakan, tak jua ada bergerak dari kursi yang semakin membusuk itu.
Mungkin saia terlalu jenuh. Pun ketika harus terus mencoba menemukan arah berbeda. Peradaban Z ataupun peradaban Z+ ini telah berada pada sebuah frenchpress yang telah mengendapkan semangat kebersamaan. Mengurai beragam pelatihan, berdiskusi yang tak diharapkan, hingga mengirimkan ke berbagai kota, hasilnya tetap sama. Tak ada kegelisahan, kecuali saat kembali tak ada yang menyediakan kudapan di meja, tak ada lagi nasi padang yang dapat dirasakan, hingga bangku sepeda motor yang harus dipotong karena tak ada yang mengisinya.
Inilah putaran jaman. Hanya menarik benefit tanpa membagikan. Mengumpulkan pundi-pundi entah demi apa. Berlayar dengan ketinting yang hampir tenggelam. Datang dan pergi tanpa jejak. Kertas-kertas tak lagi bermakna. Hanya media sosial yang menggambarkan seolah ada perubahan yang ingin dicapai. Selebihnya, kembali berselimutkan mie instan dan kopi sachet, dengan sesekali berenang diantara botol-botol kosong, yang pernah terisi alkohol skala rendah.
Anti kritik dan tak mau lagi membuka buku pelajaran, serta tanpa mandat. Menjadi penciri. Hingga kemudian menjadi penting untuk keluar dari labirin yang diciptakan sendiri, yang sudah tahu dimana pintu berkeluar, namun tak pernah ada langkah untuk menujunya. Pun tak lagi ada kalimat-kalimat yang diketikkan dengan rangkaian yang lebih dimaknakan. Lalu, apalah makna kehilangan barang-barang di meja itu, karena sebenarnya tak jua memberikan manfaat bagi yang lain.
Awan menutupkan kehangatan mentaripagi ini. Suara burung dari pemutar digital itu sudah tak lagi berirama. Capung yang terbang rendah diantara pucuk mangga yang enggan memberikan buahnya. Bau tanah yang tak lagi beraroma. Hujan enggan menetes, hingga KarangMumus pun mulai menjadi pantai yang menghitam, “Lalu dimana para pecinta pantai itu?“. Lalu apa itu teks konteks yang harus dibaca. Entahlah, tak terlalu penting memang pagi ini. -..-~
Leave a Reply