belajar pada gambar
“Setting filmnya bagus“. “Kita dapat gambaran tentang kondisi kemiskinan disana“. “Bahwa masih ada gap, sehingga Papua masih miskin“. Setidaknya tiga komentar itu yang saya dapatkan ketika punya sedikit waktu untuk menyaksikan dua karya Kalyana Shira Foundation. Satu film berjudul “Tanah Mama” dan satu film lagi berjudul “Nyalon“. Ungkapan tadi merupakan ungkapan mereka yang menyaksikan film “Tanah Mama“.
Mungkin harapan saia terhadap sebuah pemutaran film dokumenter masih terlalu menghayalkannya. Berharap ada nara sumber yang dapat bercerita tentang bagaimana kondisi pengambilan gambaran dan kondisi sebenarnya di balik cerita. Masih berharap ada dapat pembelajaran lebih tentang cerita-cerita yang coba diungkapkan dari sebuah gambar yang bergerak. Dan berharap lebih banyak kawan yang tertarik menghadiri dan menyaksikan film yang tak mudah untuk melihatnya secara utuh ini.
Walau demikian, saia mengapresiasi sebuah upaya dari kawan-kawan TerasShare, yang mau berbagi, dengan mengkontribusikan energinya untuk itu. “Ada kas kami yang kami gunakan untuk membayar ruangan“, ujar Indra, salah satu penggerak Teras350K. Sebuah hal yang semakin sukar untuk ditemukan, pun di kalangan aktivis Organisasi Non Pemerintah.
Tanah Mama
Mama Halosina dalam rangkaian gambar Tanah Mama memberikan banyak ruang pembelajaran bagi yang punya cukup waktu untuk menyaksikannya. Bagaimana tata kelola lahan, utamanya pangan, berlangsung di kampung. Bagaimana ubi menjadi penghidupan. Bagaimana kemudian aturan kampung yang masih berlaku yang kemudian bisa jadi menjadi baik, namun belum menemukan sebuah ruang bagi mereka yang tak berpunya. Kolektivitas yang bisa jadi tiada, dalam memastikan kebahagiaan bagi bersama.
Ubi, yang ditanam dengan membuka lahan, membutuhkan tenaga lebih, untuk melakukannya. Ketika Hosea, suami Mama Halosina, tidak membukakan lahan untuk bertanam, maka hilanglah sumber pangan bagi keseharian keluarga mereka. Kemudian pilihan sadar bagi seorang ibu adalah memastikan agar anak-anak mereka tetap bisa memiliki energi untuk bermain. Mencuri. Yang kemudian menjadikan sebuah perkara yang diputuskan oleh Kepala Kampung yang juga menjadi Tetua Adat, dengan denda satu ekor babi ataupun digantikan dengan uang.
Babi dan Ubi. Sebuah penyetaraan untuk menggantikan moral akibat perilaku pencurian. Bisa jadi ini menjadi penunda tindakan kejahatan yang belum direncanakan. Dan aturan-aturan ini lahir dari proses interaksi yang tak sebentar. Sumber utama kehidupan, selalu menjadi ukuran bagi sebuah denda. Uang, bilamana pada kehidupan perkotaan di sebuah negeri, dan babi bagi kehidupan warga di kampung-kampung di negeri ini.
Tanah Mama bukanlah bercerita tentang tanah dalam hal fisik (sehingga ada yang mengartikulasikannya sebagai Mama’s Soils, dimana sebaiknya menggunakan Mama’s Land). Tanah Mama bercerita tentang lahan berkehidupan sebuah keluarga yang harus bertahan hidup dengan keterbatasan yang dimiliki. Pun ketika pesta panen berlangsung, Mama Halosina dan empat anaknya hanya menyaksikan keriaan yang berlangsung dijangkauan tatapannya.
Pertanyaan yang kerap bermuncul, ketika dipercaya bahwa sistem tradisional ataupun peradaban non-modern, lebih mengutamakan pada kolektivitas ataupun kebersamaan, dan memastikan dari setiap yang berada di dalam lingkungannya berbahagia dan berceria bersama, itu tak saia temukan dari gambar bercerita di Tanah Mama. Keterpisahan kelompok mulai terjadi. Walau kemudian, selalu ada satu-dua yang berbaik hati untuk membantu. Namun, bukan karena sebuah intisari dari pemaknaan commune.
Cerita perempuan, tentang perempuan, dari perempuan, dan oleh perempuan, ini yang menjadi nilai dalam film Tanah Mama ini. Bukan semata urusan perlu tidaknya sebuah gunting sensor bekerja pada film ini. Tanah Mama telah dengan baik menyajikan bagaimana posisi, peran dan akses perempuan di dalam sebuah keluarga dan komunitas pada sebuah kampung, dekat Wamena yang dikenal dengan salah satu jenis kopinya, pada pulau Papua, yang masih jauh dari jangkauan informasi.
Nyalon di Salon
Realitas politik negeri benar-benar disajikan oleh dokumenter yang tidak sederhana ini. Nyalon, sebuah aktivitas di dalam salon. Nyalon juga dapat bermakna pada aktivitas politik, untuk masuk pada wilayah kekuasaan. Ambigu kata Nyalon inilah yang menjadikan film ini menjadi menarik. Melihat peristiwa politik dari sebuah Salon.
Begitu banyak yang disajikan tentang perilaku politik warga negeri ini. Sindiran tegas disajikan dan diuraikan dengan sangat jelas. Tentang partai berideologi agama yang berbeda cara dalam memaknai cara berkampanye.
Tentang meraih dukungan dan harapan memperoleh suara dengan cara yang beragam. Tentang dukung-mendukung, yang kemudian ketidak puasan terhadap kekalahan maupun kemenangan yang didukung. Tentang mereka yang sangat sederhana melihat politik, yang harus usai setelah hari pemilihan berakhir.
Perbincangan di salon menunjukkan bahwa itulah sebenarnya wajah warga negeri ini dalam memandang peristiwa politik dan calon-calon penyambung gagasan dan pemimpin mereka. Ketegasan yang dilihat dari tampilan fisik dan sejarahnya. Hingga urusan-urusan sumber informasi, utamanya televisi, mana yang menjadi sumber informasi.
Nyalon benar-benar memberikan gambaran yang utuh tentang demokrasi, yang masih belajar, di negeri ini. Salon dan pencalonan, menjadi sebuah ruang percakapan yang menjadi penting untuk didiskusikan dan dibelajarkan. Bukan kemudian usai, begitu film usai, tanpa sempat menyaksikan nama-nama mereka yang luar biasa di balik sebuah film.
Dokumenter adalah Sebuah Proses Belajar
Dokumenter menjadi sebuah proses mendokumentasikan yang tidak sebentar. Tanah Mama, yang didahului oleh riset yang lebih dari setahun, atau Nyalon, yang memakan waktu yang tidak sebentar untuk proses pengambilan gambarnya, mengikuti peristiwa politik yang sedang berlangsung, menjadikan dokumenter memiliki nilai yang lebih luar biasa, dibandingkan sekedar menyaksikan teknis pengambilan gambar ataupun kualitas videografinya.
Cara mereka yang bergerak di balik sebuah film dokumenter adalah hal yang penting untuk dibelajarkan. Kesabaran dan ketelitian, menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan sebuah rekaman yang utuh dan sebenarnya. Begitu menyaksikan, terkadang harus tertidur karena ritme yang perlahan, lalu kemudian tak menemukan makna keindahan di dalamnya, dan berlalu begitu saja.
Proses belajar untuk mendokumentasikan sesuatu, dengan tulisan, dengan foto, maupun gambar bergerak, selama ini benar-benar membutuhkan energi yang tak sederhana. Perjalanan waktu terkadang menghadirkan kebosanan. Apalagi kemudian, ketika ditayangkan, tak terlalu banyak yang meyakini penemuan makna diri dalam sebuah film dokumenter yang diproduksi.
Saat ini, saia, Yustinus, Noval dan Ellie Hasan masih dalam tahap berjuang untuk menyelesaikan sebuah dokumenter yang sedernahan tentang perempuan Belanda yang meluangkan waktunya di Samarinda untuk membangun pendidikan bagi perempuan. Proses yang tak sebentar bila dihitung sejak awal penemuan cerita yang ada, hingga kemudian Ellie berjalan ke berbagai tempat untuk menemukan nara sumber yang tepat untuk cerita ini. Membangun cerita dengan tanpa papan cerita, juga menjadi bagian pembelajaran yang dilakukan. Semoga ini dapat dituntaskan dengan mulus dan baik.
Pun ketika mencoba mengajak lebih banyak orang untuk berlibat di dalamnya, tak menjadi ketertarikan. Dokumenter, apalah itu. Tak seindah timelapse ataupun webstory. Dokumenter adalah pencerita pengantar tidur yang baik. Hanya pada mereka yang belajarlah, dokumenter akan menemukan pemaknaannya. Dan tantangannya adalah peradaban instan telah memusnahkan para pembelajar.
Dalam kesederhanaan, waktu akan menjadikan sebuah tulisan, gambar dan film memiliki makna yang lebih. Hanya butuh kesabaran dan secangkir kopi untuk bertemu padanya. Mari berkopi, melanjutkan cerita yang tak pernah tersampaikan, dan menggali kesejarahan dari perspektif kekinian.
Leave a Reply