Kota Cerdas: Bagaimana Menjadikannya Mungkin ?
Sebuah kota dapat menjadi cerdas, bilamana kemudian ada kekuatan publik yang mendorongnya untuk kemudian menjadi ada. Apakah kemudian mungkin bilamana didorong dari sisi pemerintah? Bisa jadi akan terwujud, namun ya, kualitasnya masih akan sangat dikhawatirkan. Misalnya saja, ada banyak yang kemudian memagarkan definisi kota cerdas pada sebuah aplikasi, ataupun hanya sekedar kartu RFID, yang kemudian disebut sebagai smart card.
Kenapa kemudian kekuatan partisipasi warga menjadi penting? Partisipasi merupakan prasyarat utama dalam memastikan kualitas kecerdasan sebuah kota. Warga memiliki hak partisipasi di dalam proses-proses politik, yang bukan sekadar memberikan suara saat pemilihan anggota DPR(D) ataupun pemilihan kepala daerah ataupun presiden, namun juga partisipasi di dalam proses-proses perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, hingga pengawasan proses pembangunan.
Secara teknologi, mekanisme partisipasi publik sangat dimungkinkan. Secara politik, kemauan, bahkan niat, itu menjadi sangat sukar untuk dimiliki oleh pemimpin wilayah, dan para anggota DPRD. Ada beragam alasan kenapa kemudian hal ini menjadi sukar. Beberapa menyebutkan, karena memang dalam proses perencanaan pembangunan masih terdapat “proyek pesanan“, yang kemudian pada titik inilah kerap kali Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja, yang sebagian disebabkan oleh “politik balas budi“. Sebenarnya gejalan ini tak begitu mudah untuk diindikasikan, namun memang kepiawaian para pemainnya, menjadikan kerap sukar untuk memperoleh bukti formil.
Membuka dokumen pembangunan, mulai dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) atuapun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), hingga Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) maupun dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), menjadi hal yang sepertinya sukar dilakukan. Akibatnya kemudian, proses-proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang) hanya menjadi bagian-bagian acara seremonial, yang tidak menyentuh substansi dari aspirasi pembangunan.
Ketika kemudian warga tidak memperoleh ruang untuk berpartisipasi aktif di dalam proses perencanaan pembangunan, maka kepemilikan warga terhadap proses-proses pembangunan akan semakin rendah. Karena kemudian dokumen-dokumen tersebut, yang seharusnya merupakan dokumen publik, menjadi dokumen “semi tertutup”, maka kemudian menjadi sukar bagi warga untuk mengetahui rencana proses pembangunan di lingkungannya. Akibatnya kemudian, ketika proyek pembangunan berlangsung, kualitas pembangunannya menjadi tidak sesuai dengan harapan.
Pada titik awal ini kemudian berdampak pada partisipasi warga dalam proses pembangunan. Karena kemudian ketidaktahuan warga, maka kemungkinan keinginan warga untuk berpartisipasi juga akan menjadi minor. Akibatnya, proses pembangunan akan berjalan dengan sendiri, tanpa ada proses kepemilikan proses pembangunan oleh warga. Hasilnya, kembali pada proses pembangunan yang tidak berdampak, dan kadang tidak berkualitas.
Pada sisi pengawasan pembangunan, karena ketiadaan pengetahuan warga terhadap rencana dan pelaksanaan pembangunan, maka apapaun yang diawasi oleh warga, kerap menjadi sangat tidak berhubungan dengan proses rencana dan pelaksanaan pembangunan. Kritik-kritik warga hanya berputar pada hal-hal yang dilihat dan dirasakan warga secara langsung. Dan kemudian, permakluman warga menjadi tiada.
Hal-hal di atas merupakan prasyarat dalam pengimplementasian sebuah kota cerdas. Enam hal kecerdasan sebuah kota, hanya akan bisa diimplementasikan dan dirasakan manfaatnya, serta memanfaatkan teknologi informasi yang telah berkembang, bilamana prasyarat tersebut telah terpenuhi. Hal ini yang terkadang dapat menjadi berbiaya murah, karena ada teknologi transfer yang sekarang mulai dijalankan antar pemerintah kota. Artinya kemudian, biaya menjadi kota cerdas akan dapat lebih ringan, asalkan prasyarat terpenuhi.
Dari sisi teknologi informasi, ada banyak hal yang bisa mulai dipersiapkan. Generasi digital, utamanya para pengembang aplikasi, dapat mulai melakukan riset untuk pengembangan framework untuk Open Government hingga Open Data dan One Data One Map. Proses belajar pada data besar (Big Data) hingga aplikasi geo-multi-user, dan aplikasi-aplikasi yang menghasilkan penyederhanaan membaca informasi (infografis), sehingga bisa mendukung proses-proses pengambilan keputusan dengan cepat dan tepat. Iklim digital citizen (netizen), bukan lagi hanya sekadar menjadikan warga sebagai konsumen aplikasi, namun juga mengarahkan pertumbuhan netizen, terutama kelompok muda, sebagai produsen aplikasi.
Proses tersebut bisa menjadi lebih tercapai, bilamana jiwa sosial dan jiwa kewirausahaan telah terbangun pada kelompok muda, sehingga proses kreatif bisa berlangsung secara spiderweb terhadap kebutuhan teknologi yang benar-benar diharapkan warga secara meluas. Sehingga, proses-proses edukasi bukanlah lagi semata mengikuti pola-pola di lain tempat, namun sangat diendapkan pada situasi dan kondisi kelokalan, kecuali terhadap pengetahuan dan keterampilan dasar, yang memang menjadi dasar bagi pengembang sistem informasi.
Keyakinan terhadap socio-technopreneurship sebagai gaya hidup masa datang, merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara paralel oleh dunia pendidikan, dunia usaha, serta pemerintahan. Iklim digital benar-benar dibangun dengan sebuah semangat bersama untuk menjadikan kota menjadi lebih cerdas, dengan efek berlapis-lapis pada peningkatan pendapatan setiap warga secara lebih merata dan berkeadilan. Dan bisa saja kemudian, warga akan berkontribusi di dalam proyek-proyek pembangunan, bukan lagi semata berdasar pada pajak yang sudah dikontribusikan kepada APBD kota.
Jadi, upaya memungkinan sebuah kota menjadi cerdas, dimulai oleh kegelisahan warga yang didesakkan kepada pemerintah agar membuka ruang-ruang partisipasi warga di dalam proses pembangunan. Karena memang tak begitu mudah mengharapkan proses ini berlangsung dari pemerintahan, dan ketika dimulai dari pemerintahan pun, hasilnya bisa jadi tidak optimal. Warga harus berani dan yakin bahwa keterlibatannya dalam memastikan partisipasinya dalam proses pembangunan, akan memberikan dampak positif kepada perekonomian, serta kualitas hidupnya. Pun terhadap mewujudkan enam kecerdasan sebuah kota.
Sehingga, mulailah bertanya kepada pelayan publik, aparat pemerintahan dari level terendah, tentang apa proses pembangunan yang sedang dan akan berlangsung di sekitar kita. Kalaupun belum memperoleh jawaban saat ini, tanyakan kembali, hingga kemudian pelayan publik menjadi jenuh dengan pertanyaan, dan akhirnya bisa jadi malah akan semakin menutup dirinya. Akibatnya kemudian, kota pun menjadi kolaps, dan lupakanlah mimpi menjadi kota cerdas.
Leave a Reply