Saia #Samarinda
Berulang ketika bertemu dengan kawan baru dan ditanya, “Sukunya apa?” Sekejap saya menjawab, “Samarinda“. Lalu datang pertanyaan kedua, “Banjar apa Kutai?” Pun saya tetap memberikan jawab, “Samarinda“. Dan kemudian, pasti ada pertanyaan lanjutan, “Memangnya ada suku Samarinda?” Untuk itulah maka tak penting saia menuliskan ini. Bila membaca sejarah peradaban, maka terpapar dengan jelas bahwa nusantara
Gusur
“Mereka dulu dibawa dan disuruh tinggal disana saat Pilkada, maka sekarang sukar untuk ditata kembali,” ujar seorang kawan. Cerita ini belum lama saia dengar, walaupun soal perpindahan warga saat pilkada sudah menjadi rahasia publik. Ketika Pilkada tak dilaksanakan serentak, maka risiko migrasi pemilik suara, yang kemudian menjadi masalah kemudian, pasti terjadi. Kejadian serupa pernah pun
Kiramologi dan Mahalabiu Kota
Kabar baik, ketika sebuah kota sudah mulai memperbincangkan sejarahnya. Lalu munculah dialog-dialog, walau semu, tentang kesejarahan sebuah kota. Artinya akan ada yang mulai membaca kota dan mengenal lebih jauh tentang kotanya. Dan pada titik ini, kemudian memperbincangkan masa depan sebuah kota bisa mulai bergerak. Tak terlalu penting tentang metodologi yang digunakan dalam membaca sebuah kota.