Saia #Samarinda
Berulang ketika bertemu dengan kawan baru dan ditanya, “Sukunya apa?” Sekejap saya menjawab, “Samarinda“. Lalu datang pertanyaan kedua, “Banjar apa Kutai?” Pun saya tetap memberikan jawab, “Samarinda“. Dan kemudian, pasti ada pertanyaan lanjutan, “Memangnya ada suku Samarinda?” Untuk itulah maka tak penting saia menuliskan ini.
Bila membaca sejarah peradaban, maka terpapar dengan jelas bahwa nusantara dibangun dari ragam migrasi yang terjadi. Pun ketika kapal Nuh mulai berlabuh, maka makhluk mulai menyebar kembali pada ragam daratan. Walau hingga saat ini belum ada kepastian dimana berlabuhnya kapal yang membawa makhluk hidup, yang berlanjut dan bergenerasi hingga saat ini, namun kemungkinan besar bukanlah pada nusantara ini.
Proses migrasi pada kelompok warga di pegunungan Kalimantan pun datang berulang. Pada beberapa catatan disebutkan sebagai tiga kelompokĀ besar, dan selebihnya migrasi dalam kelompok kecil. Pada wilayah pesisir, kelompok pelaut menjelajah dan datang secara berulang, hingga kemudian menjadi masyarakat, berkampung, hingga membentuk kota.Ada yang telah enam hingga tiga generasi.
Samarinda, yang dibentuk oleh migran melayu yang sebelumnya bermukim di selatan hingga tenggara Kalimantan, telah mengalami rentetan generasi. Saia adalah salah satu dari generasi keempat dari salah satu kelompok ini, yang bermukim pada muara Karang Mumus. Sebelumnya kelompok ini bergeser dari kawasan Delta Mahakam dan terus bergeser hingga sungai Mariam dan bergeser ke Tumpadja, Sungai Kunjang dan Selili. Proses migrasi serupa dengan kelompok-kelompok warga lainnya di daratan Kalimantan.
Pada saat fase berkerajaan dimulai, untuk menegaskan kekuasaan wilayah, beberapa kelompok memilih tak berkerajaan. Tetap berada sebagai kampung, yang secara kewilayahan diakui keberadaannya. Pun klaim kewilayahan kerajaan lebih pada wilayah yang pernah dilewati, bukan selalu wilayah yang ditaklukkan.
Dalam Konvenan ILO 169, disebutkan bahwa warga pribumi itu dapat melakukan self-identification dan self-determination. Artinya, setiap individu memiliki hak untuk berkomunitas, pun berhak untik menentukan identitasnya secara bebas. Tak ada hak bagi kelompok lain untik memaksakan identitas sebuah kelompok.
Makapun diantara ratusan identitas suku di tanah Kalimantan ini, saia lebih menyebutkan diri saia sebagai Samarinda. Bukan sebagai Samarinda yang didefinisikan sebagai Sama Rendah, pun bukan sebagai Samarinda yang selalu diyakini berdirinya bermula atas tanah yang dibagikan oleh sebuah kesultanan di selatan Mahakam. Namun sebagai Samarinda yang telah tertulis sebagai sebuah kewilayahan administratif, dan saia merupakan generasi keempat yang bermukim di dalamnya.
Maka ketika ditanya, “Apa sukumu?” Maka saia akan selalu yakin untuk menjawab, “Saia Samarinda“. Dan tak perlu lagi ada pertanyaan lanjutan, karena diskursus ini membutuhkan bercangkir kopi yang diselingi teh banjar, berpiring-piring nasi kuning, sesekali ketupat kandangan, dan boleh pun sate tenda biru, ataupun rica mentok. Kalau tetap bertanya, ya silahkan mempersiapkan #OpenResto #GituSih
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Calendar
M | T | W | T | F | S | S |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | ||
6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 |
13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 |
20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 |
27 | 28 | 29 | 30 | 31 |
Archives
- January 2022
- October 2021
- June 2020
- October 2018
- May 2018
- February 2018
- January 2018
- December 2017
- November 2017
- October 2017
- July 2017
- June 2017
- May 2017
- April 2017
- March 2017
- February 2017
- January 2017
- December 2016
- November 2016
- October 2016
- August 2016
- July 2016
- June 2016
- May 2016
- April 2016
- March 2016
- February 2016
- January 2016
- October 2015
- September 2015
- July 2015
- June 2015
- May 2015
Leave a Reply