Gusur
“Mereka dulu dibawa dan disuruh tinggal disana saat Pilkada, maka sekarang sukar untuk ditata kembali,” ujar seorang kawan. Cerita ini belum lama saia dengar, walaupun soal perpindahan warga saat pilkada sudah menjadi rahasia publik. Ketika Pilkada tak dilaksanakan serentak, maka risiko migrasi pemilik suara, yang kemudian menjadi masalah kemudian, pasti terjadi.
Kejadian serupa pernah pun berlangsung. Saat sebuah kabupaten memilih Bupati, maka ada permakluman migrasi warga ke kawasan konservasi dan kawasan lindung di kabupaten itu. Pun dalam grafik deforestasi menunjukkan angka yang menarik, peningkatan terjadi pada fase Pilkada. Apakah ini berkorelasi nyata? Tidak, karena ini rahasia publik.
Lalu setelah euforia pemilihan Kepala Daerah usai, baru kemudian mucul soal sosial baru. Berada di lahan tanpa alas hak, layanan pendidikan dan kesehatan yang tidak tersedia dengan baik, sanitasi yang kian menurun, hingga ketiadaan lapangan pekerjaan dan dukungan produktivitas rumah tangga yang tiada.
Politik praktis telah berimplikasi nyata pada ekologi dan sosio-kuktur. Kekuasaan, yang berimplikasi pada kekayaan pada lingkar terdekat telah abai terhadap hak asasi warga. Pun kemudian, melahirkan kebijakan yang korup.
“Ini semakin defisit, karena anggaran publik harus digunakan untuk bayar proyek masa lalu,” demikian lanjutnya. Pertanyaan sederhana adalah apakah ada jaminan kualitas, bilamana kemudian pembangunan dibangun dengan utang? Hasilnya sedang berupaya dinikmati warga, dengan permakluman, “Ini sedang defisit.”
Maka ketika gerakan penggusuran warga menjadi masif, ini adalah buah negosiasi perebutan pimpinan daerah. Warga pun selayaknya sudah bangun dari senyapnya. Bersuara dan menentukan, bukanlah lagi soal selembar rupiah, namun telah melampaui selembar nota perjanjian, yang menggerus anggaran publik wilayahnya. Gusur selalu menjadi pilihan kekuasaan untuk meniadakan penghalang. Dan kekerasan selalu menjadi bunga diatas altar pembangunan.
Logic advokasi tanpa data dan kajian solutif pun, turut berkontribusi terhadap pelanggengan pola pembangunan seperti itu. “Apa kalian itu, hanya dari meja ke meja, nggak ada ke lapangan,” begitu unpat aktipis itu. Padahal, bila saja dia benar ke lapangan, maka perubahan pasti sudah terlihat. Senyatanya, hanya jadi seleb-media, lalu berujar, “Akulah pembawa perubahan.”
Gusur bisa jadi sudah tak lagi gemuk, dan mungkin saja Lupus sudah tak lagi gondrong. Membawa perubahan menuju titik yang diharapkan, bukanlah semata melalui aksi tunggal. Banyak buku menuliskan ulang 198 cara mendesakkan perubahan. Pun ada bacaan ringan yang mengurai 10 langkah mengubah informasi menjadi aksi. Namun juga, ada 7++ jalan baru menuju visi warga. Yang selalu diabaikan oleh para penghamba kata “lapangan” dan “aksi”.
Ketika pun masih selalu tak setia pada waktu, abai terhadap partikel fakta dan data, silap dalam membaca sosio-kultur, hingga terambung dengan nama yang tertoreh di lembar media, perjalanan berikutnya adalah penghentian gerak, ketika energi sudah tak lagi dikucurkan.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply