Tak ada solusi untuk #BanjirSamarinda
Gubernur Kaltim dan Walikota Samarinda bertemu untuk membahas permasalahan banjir di Samarinda. Dan kesimpulannya, “belum ada pemaparan jelas terkait akan seperti apa banjir di Samarinda akan teratasi.” Tak terlalu aneh memang. Padahal di dalam Rancangan Awal RPJMD Kota Samarinda 2016-2021, disebutkan akan ada pengurangan titik banjir, dari 50 titik di tahun 2016 menjadi 40 titik di tahun 2021. Artinya, setiap tahun setidaknya ada 2-3 titik banjir yang mampu dikurangi.
Perda Samarinda No. 4 tahun 2015, yang merupakan revisi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Samarinda 2005-2025, menyebutkan bahwa banjir merupakan bencana yang tergolong tinggi di Samarinda.
Adapun kawasan rawan banjir di Kota Samarinda adalah Kelurahan Sempaja, Kelurahan Lempake, Kelurahan Temindung Permai, Kelurahan Loa Bahu, Kelurahan Sungai Siring, Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kelurahan Sungai Kapih, Kelurahan Pulau Atas, Kelurahan Sindang Sari, Kelurahan Loa Janan Ilir, Kelurahan Simpang Pasir, Kelurahan Rawa Makmur, Kelurahan Bukuan, Kelurahan Bentuas, Kelurahan Karang Asam, dan Kelurahan Gunung Kelua. (RPJPD Samarinda 2005-2025 halaman II-21)
Yang menarik adalah ketika skenario penanganan banjir dimulai dengan merelokasi 200 rumah di Sungai Karang Mumus Samarinda, dan belum ada rencana jangka panjangnya. Padahal, dalam dokumen RPJPD Samarinda tertulis jelas telah ada Skenario Master Plan Banjir Samarinda 2016-2035. Padahal, dari 12 miliar rupiah yang direncanakan, sudah 6 miliar rupiah digelontorkan untuk menyusun master plan tersebut. Masa sih dengan dana sebegitu besar belum ketemu juga solusinya untuk #BanjirSamarinda ? Dan ketika ini terjadi, harusnya tak perlu ada SMS warga kepada Walikota terkait banjir.
Dari dua tabel di atas, maka seharusnya dapat menjadi dasar dalam menyusun perencanaan. Menarik juga bahwa tahun 2004 hingga 2014, telah berkurang luas wilayah kebanjira sebesar 86,30 hektar, namun terjadi peningkatan kedalaman banjir menjadi 8,7 cm, dengan jumlah titik banjir yang sama. Lalu apa tawaran solusi bagi penanganan banjir di Samarinda?
Pertama, benar bahwa sungai-sungai di Samarinda telah mencapai titik kritis yang semakin mengkhawatirkan. Ada dua hal utama yang menyebabkan ini terjadi, yaitu: (1) Tingginya tingkat sedimentasi di hulu dan punggung bukit, yang terus mengaliri ke sungai-sungai di Samarinda, baik anak sungai Mahakam, maupun sungai Mahakamnya, dan; (2) Semakin berkurangnya lebar sungai akibat pembangunan rumah dan bangunan lainnya, yang tak terkendali, maupun diijinkan oleh Pemkot, di tepi anak sungai dan sungai Mahakam. Terhadap kondisi ini, maka Pemkot harus memastikan bahwa Usaha Kelola Lingkungan terhadap bangunan-bangunan berijin di sempadan sungai harus dibatalkan, karena seharusnya setidaknya 50 meter dari tepi sungai tidak diperkenankan ada pembangunan gedung atau bangunan lain. Sehingga, harusnya tak ada perijinan untuk bangunan tersebut. Selain itu, terhadap rumah-rumah yang semakin masuk ke badan sungai, sudah tepat pilihan Walikota Samarinda untuk memindahkannya ke wilayah lain, dengan kondisi harus memperhatikan kelayakan infrastruktur, sosial dan ekonomi masyarakat yang berpindah.
Kedua, dari hulu dan punggung bukit setiap Sub DAS Mahakam, sudah seharusnya menjadi kawasan-kawasan yang dilindungi dan tetap berpepohonan dengan beragam bentuknya. Perda Samarinda No. 2/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda tahun 2014-2034 telah menyebutkan bahwa sudah harus ada minimal 20% dari luasan kota menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik, dan minimal 10% dari luas kota menjadi RTH privat. Lebih tepatnya 16.460,33 hektar (22,93%) ditetapkan sebagai RTH Publik, dan 14.194,86 hektar (19,77%) sebagai RTH Privat. Sementara kawasan hutan kota ditetapkan 580,18 hektar. Yang terpenting adalah kualitas RTH, termasuk hutan kota, adalah berupa kawasan berpepohonan yang mampu memberikan perlindungan ekologis pada kawasan di bawahnya. Program rehablitasi dan restorasi kawasan menjadi hal yang penting dilakukan secara masif dan dipastikan berkualitas.
Ketiga, di tahun 2014, Samarinda setidaknya memiliki 218 hektar (0,30%) kawasan rawa. Sedangkan pada tahun 2000, Samarinda memiliki rawa seluas 730 hektar (1,02%). Artinya 512 hektar kawasan rawa yang telah menghilang dari Kota Samarinda. Serta Samarinda masih terdapat 7.366,85 hektar kawasan pertanian rawa. Walaupun telah terjadi keterlanjuran, maka sudah selayaknya Pemerintah Kota menetapkan 218 hektar rawa yang tersisa sebagai kawasan perlindungan lokal, yang akan dikelola dengan manajemen yang tepat, agar fungsi rawa tetap ada dalam jangka panjang.
Keempat, kawasan yang telah terbuka untuk pertambangan, maka Pemerintah Provinsi (dan juga Pemerintah Kota), harus dapat memastikan bahwa reklamasi, bahkan rehabilitasi dan restorasi kawasan, harus dilakukan. Agar kawasan-kawasan lubang bekas tambang, kembali ditutup dan dikembalikan sebagai kawasan berpepohonan. Bila dikatakan tidak ada pendanaan terhadap hal ini, maka berarti benar bahwa dana jaminan reklamasi, yang merupakan kewajiban pemilik Ijin Usaha Pertambangan (IUP), tidak pernah dipungut dan diletakkan dalam rekening daerah. Program reklamasi, dan seharusnya rehabilitasi dan restorasi kawasan bekas tambang, utamanya lubang-lubang tambang dan areal yang dibuka oleh pertambangan, harus segera untuk dipastikan terjadi.
Kelima, persoalan banjir lainnya di Samarinda adalah akibat masifnya aliran air permukaan, yang juga diakibatkan oleh pembangunan rumah, ruko, perumahan, maupun bangunan lain. Ada 2 (dua) pola yang bisa dikembangkan dalam mengelola kawasan ini. Terhadap kawasan perumahan atau bangunan yang terintegrasi, maka ketika perijinan diberikan, pengembang diwajibkan untuk menyisakan 30% kawasannya untuk menjadi ruang terbuka hijau, termasuk untuk menyediakan polder air, dengan volume yang setara dengan limpasan curah hujan yang rata-rata 210,2 mm, dengan bulan terkering di bulan September yaitu 118 mm dan bulan terbasah di bulan April dengan curah hujan 236 mm. Terhadap rumah ataupun bangunan tunggal, maka diwajibkan untuk membuat sumur resapan dengan volume yang setara dengan luas penampang tanah dan curah hujan, yang diletakkan pada Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Perhitungan secara lebih teknis sangat mungkin dilakukan, dan kedua aturan ini menjadi bagian di dalam pengeluaran perijinan kawasan bangunan dan juga perijinan mendirikan bangunan (IMB).
Keenam, drainase di perkotaan memiliki peran penting, termasuk di dalam menggantikan fungsi anak-anak sungai yang telah menghilang. Drainase harus dibangun dengan perhitungan yang tepat terhadap limpasan air permukaan yang akan melaluinya. Dan untuk meningkatkan kapasitas drainase, maka penting untuk membangun water-trap, berupa sumur-sumur ataupun lubang-lubang resapan air, dengan volume yang setara dengan limpasan air yang melalui drainase tersebut. Water-trap dapat dibuat pada jarak-jarak tertentu, tergantung dari lebar dan kedalaman drainase.
Dari 6 (enam) solusi tersebut, yang penting adalah satu proses yang sama antara provinsi dan kota, terutama dalam menerapkan RTRWP Kaltim, yang menyatakan tidak ada lagi perijinan pertambangan batu bara di wilayah Kaltim, serta dengan memastikan kawasan sempadan sungai, kawasan lindung, dan kawasan-kawasan yang memiliki fungsi hidrologis dan ekologis. Memang dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang kuat dan solid, agar hal tersebut dapat diimplementasikan.
Mungkin ini hanyalah sebuah konsep, namun penting untuk memberikan jawaban yang tepat dalam memberikan jawaban permasalahan banjir di Samarinda. Setidaknya, tulisan ini tidak membutuhkan dana 6 miliar rupiah. Ini hanya membutuhkan segelas kopi semata.
Leave a Reply