Komunikasi Publik Politikus via Media Sosial
Pada sebuah warung tak jauh dari pusat kantor pelayanan publik kota ini. Berbincanglah tentang pesan singkat yang dikirimkan kepada pemimpin kota, yang kemudian menjadikan pemimpin kota meminta aparat hukum untuk mencari pelaku dan memenjarakannya. Jarnya pemimpin kota, “Saya cuma ingin tahu siapa pelakunya saja.” Begitu mahal memang biaya untuk mengetahui siapa yang mengirimkan pesan singkat berisikan kritik yang disertai umpatan itu. Padahal, sebagai pimpinan kota, bisa saja mengambil langkah berbeda, yang akan mengakumulasi menjadi kekuatan politik berikutnya.
Pimpinan kota tersebut dapat mengundang pengirim pesan singkat, mengajak berbincang sambil menikmati kudapan berbuka puasa, serta mengundang para pengirim pesan singkat lainnya. Mendengarkan. Lalu kemudian mengajak untuk menemukan solusi bersama. Dan selanjutnya, tinggal berswafoto dan mengunggahnya ke media sosial. Ini menjadi investasi besar dalam membangun jembatan komunikasi publik bagi proses-proses politik berikutnya.
Saia banyak belajar dengan sebuah akun twitter layanan energi bagi publik, ketika mulai aktif di media sosial, yang dikelola oleh seorang pekerja, yang tidak berada di bawah bagian komunikasi publiknya. Selama tidak lebih dari 8 (delapan) bulan akun tersebut bangkit dari hiatusnya, telah mampu membangun pengubahan cara pandang pelanggan terhadap korporasinya. Walau cacimaki tetap ada, namun tak lagi dominan. Amarah telah mampu dibawa kepada membangun cara pikir yang lebih maju. Sayangnya kemudian, korporasinya malah ‘mematikan’ akun tersebut, dengan membangun akun baru, yang tak memiliki rasa ataupun passion terhadap bergaul di media sosial. Akhirnya, kembali bertumbuh amarah publik, ketika korporasi gagal memberikan layanannya.
Bisa jadi ini hanyalah sebuah cerita subyektif saia. Dan saia tidak melakukan riset yang berdasarkan metodologi yang diakui oleh lebih banyak pihak. Amatan saia hanyalah amatan semata terhadap senggolan dan berbagi-ulang dari setiap linimassa yang dibagikan akun tersebut. Setidaknya, pengelola akun itu telah sangat memberikan dampak positif bagi korporasi, hanya saja kemudian tak ada sebuah penghargaan yang sepadan dari korporasi.
Mengelola media sosial, bukanlah semata mengetikkan kata lalu membagikan. Makapun, hingga saat ini saia masih memposisikan penting sebuah pembelajaran media sosial bagi generasi negeri. Ada banyak ruang yang harus diperdalam dan dipertajam, agar kemudian media sosial, sebagai teknologi komunikasi baru, agar dapat memberikan dampak yang lebih bagi kehidupan yang lebih luas. Dan masih banyak hal yang belum terbangun di dalam kultur media sosial saat ini.
Kembali pada model komunikasi publik politikus via media sosial, ada hal yang sangat diabaikan oleh para politikus maupun public figure. Sebagian besar politikus di kota dan provinsi ini masih memposisikan media sosial hanya sebagai bagian untuk berbincang dengan kawan dan mengisi waktu luang semata. Memang sangat berbeda dengan para pemain di kota besar lain, yang sudah mulai memposisikan media sosial sebagai branding personal, agar kemudian dapat menjadi jembatan yang baik dalam membangun hubungan dengan konstituennya. Hal ini yang kemudian menjadikan anggota parlemen pusat, beberapa menteri, beberapa gubernur dan walikota, hingga presiden, mulai lebih serius dalam mengelola media sosial yang digunakannya.
Lalu, apakah untuk sebuah kota yang penuh dengan ragam masalah media sosial akan membantu? Pada posisi inilah kemudian saia menempatkan akun media sosial korporasi di atas sebagai sebuah perbandingan. Ketika kemudian korporasinya telah dipenuhi dengan cacimaki, media sosialnya membantu membangun pengubahan cara pandang konsumen terhadapnya. Ini yang kemudian bisa direplikasi oleh pelayan publik kota, agar kemudian dapat mengelola amarah warga menjadi energi positif dalam memperbaiki kota.
Dan apakah yang dibutuhkan dalam menuju pengelolaan media sosial yang berdampak? Jawaban sederhana dari saia hanyalah, ikutlah di kelas saia. #eh. Tak perlu itu. Yang terpenting adalah akun media sosial, tak perlu memiliki akun di setiap media sosial, haruslah dikelola langsung oleh pelayan publik. Followers membutuhkan respon dari tangan pertama, bukan sebuah celotehan dari mesin penjawab pesan ataupun dari sebuah tim yang belum tentu punya otak dan rasa yang sama. Media sosial yang digunakan, setidaknya yang paling banyak digunakan dan mampu menampung banyak pertemanan dan jejaring.
Untuk Samarinda misalnya, penggunakan halaman Facebook (Facebook Page) menjadi utama. Selanjutnya adalah twitter, karena twitter masih akan bertumbuh perlahan dan pada kelompok massa yang berbeda. Dan satu lagi yang penting, situs berbagi video dan atau gambar. Bisa memilih youtube, biar sekalian bisa menjadi youtuber pasca tak menjabat lagi, atau bisa menggunakan instagram, dengan alasan serupa, agar bisa diendorse ketika sudah kurang kerjaan. Namun bukan itu deh. Video memberikan dampak berbeda dan mampu berbicara lebih. Foto berada di urutan berikutnya. Selanjutnya barulah kata-kata motivasi, dan berikutnya yang penting juga adalah kalimat yang mampu mengkomunikasikan apa adanya yang sedang terjadi dan berlangsung saat itu.
Apa yang diharapkan oleh netizen dari seorang pelayan publik di media sosial? Tak terlalu banyak memang. Ada yang ingin disapa saja, ada yang ingin direspon, dan ada yang ingin memaki ataupun memuji. Namun, yang diinginkan oleh netizen adalah informasi yang mereka butuhkan, setidaknya informasi tentang proses pembangunan yang sedang berlangsung. Pada sebagian besar netizen, mereka juga ingin menyampaikan cacimaki ataupun aspirasi. Bacalah aspirasi dan cacimaki itu, dan berikan respon positif terhadapnya. Berikan respon yang kemudian berdampak pada semangat baru bagi mereka. Rangkul dan bukan diblock ataupun dimute.
Setiap netizen dan citizen pastilah ingin didengar. Dan mereka tak ingin memperoleh jawaban permakluman ataupun jawaban yang mempertahankan keangkuhan. Bawalah pada aliran yang menghanyutkan. Ikuti alurnya dan berikan kesempatan pada mereka untuk membangun solusi dan konklusi. Berikan komitmen pada komitmen yang memang dimiliki dan pasti dapat diraih. Hindarkan selalu memberikan harapan dan janji, karena pasti akan ada ketidaktercapaian janji. Lebih baik berbagi tentang apa yang sedang dilakukan dalam menjawab cacimaki yang diberikan.
Dan untuk lembaga pemerintahan, karena juga merupakan bagian yang harus menerima aspirasi dan cacimaki publik, maka menjadi penting untuk membangun jembatan untuk itu. Bagi Samarinda, sebuah jembatan hybrid penting dibangun. Jembatan hybrid merupakan jembatan yang menggabungkan pendekatan virtual (online) dan pendekatan riil (offline). Dimulai dengan membuka data, lalu dilanjutkan dengan menerima data. Kanal informasi publik sebenarnya bisa lebih jauh bermakna apabila dibangun protokol yang baik. Ini akan sangat membentu, dalam mempercepat proses penguatan interaksi pelayan publik dengan publik yang dilayaninya.
Namun, tak juga harus meninggalkan komunikasi personal. Public figure harus tetap menyediakan kanal komunikasi personal dengan publiknya. Ini akan memperkuat ikatan personal, yang merupakan investasi jangka panjang bagi pelayan publik. Salah satu bagian yang terpentingnya adalah mengurangi biaya politik. Kanal komunikasi personal ini menghilangkan sekat-sekat yang dibangun oleh broker ataupun kerap disebut tim sukses, yang selalu menjadi sukses tanpa harus yang disukseskan menjadi sukses.
Akhirnya, pilihan untuk merespon cacimaki dengan penjara, harusnya sudah bukan menjadi yang dipilih lagi oleh public figure. Responlah dengan cara baru, dan dengan mengendapkannya sebagai bagian dari sumber daya yang bisa diakumulasi dalam jangka panjang.
Dan sebenarnya, anjing ataupun babi, tetap memiliki fungsi dan kemanfaatan yang sangat besar dalam kehidupan ini, karena mereka sangat membantu manusia untuk tetap bertahan hidup dan berkehidupan lebih baik. Serta memilih menjadi bajingan yang menggerakkan kota ini dengan baik dan ke arah yang semakin baik, serta semakin layak bagi anak, adalah sebuah kehormatan dan kebahagiaan seutuhnya.
Leave a Reply