Akses Pornografi Internet dari Pelayan Publik
Pornografi pada aplikasi chatting meramaikan media daring. Konten yang merujuk pada tindakan seksual kemudian dikategorikan sebagai sebuah arah mempublikasikan pornografi terbuka. Lalu kemudian ramailah warganet mencoba informasi yang disebarkan melalui aplikasi chat tersebut. Dan semakin banyak yang mengaksesnya.
Selalu ada pembelajaran cepat, ketika sebuah himbauan berubah menjadi sebuah panduan. Pun pada berbagai kasus yang dikategorikan pornografi pun, informasi bagaikan sebuah peta jalan menuju pada konten yang dimaksudkan. Lalu kemudian, tanya bertanya dilakukan “adakah?”
Seorang kawan pernah berujar, “sulit kalo mau melawan konten negatif dengan filtering, mau sampai kapan? lakukanlah ajakan memproduksi konten positif” Pun ketika ada kawan yang sudah menjadi pendamping pelayan publik level tinggi, di bidang yang serupa, literasi digital, masih tetap melakukan pola lama. Padahal ada ruang yang lebih besar yang bisa dilakukan. Menggaulkan kementerian yang berurusan dengan TIK dengan kementerian yang menguruskan pendidikan, akan memberikan dampak besar pada literasi digital. Berhentilah hanya menyelenggarakan kegiatan pada kota besar, bangunlah sebuah sistem yang meluas, ketika kekuasaan berada dalam genggaman. #GituSih.
Sebagaimana kegelisahan pegiat teknis teknologi informatika dan komunikasi, bahwa ranah pembelajaran TIK telah dipendam oleh Kementerian yang mengurusi pendidikan. Pegiat digital literasi mengabaikannya. Bisa jadi gegara bilamana digital literasi telah masuk pada ranah pendidikan formal, maka penyelenggara kegiatan menjadi kehilangan kegiatan. Pun pembelajaran TIK bukanlah semata digital literasi, namun juga harus melampaukannya pada kapasitas pengetahuan dan keterampilan teknis TIK itu sendiri.
Kembali pada pornografi di internet, selalu ada ragam lapisan agar kemudian laman-laman terus menyajikan konten. Pun pada aplikasi-aplikasi percakapan. Pernah ada satu aplikasi percakapan yang dibuat untuk menjamin kebebasan berekspresi, ketika masuk ke negeri ini, kembali digunakan untuk berinteraksi seksual. Hingga kemudian pembuat aplikasi memutuskan untuk menghentikannya, walaupun bukan semata konten asusila yang menjadi alasannya.
Pembelajaran dari pelayan publik dalam menghadapi konten pornografi adalah kepanikan sesaat. Ketika sebuah informasi menjadi meluas (viral), lalu kemudian respon diberikan. Hingga menjadi lupa bahwa yang dilakukan adalah sedang memberikan panduan untuk menuju pada konten yang dianggap porno. Dengan sederhana laman disebutkan. Seolah tak ada yang akan tertarik pada panduan tersebut.
Pun media daring, berlomba-lomba dengan segera memberitakannya. Hingga akhirnya aliran eksponensial terus bergerak, yang akhirnya, kelompok yang berada di luar lingkar komunikasi awal, memperoleh keterpaparannya. Beberapa media daring juga belum memberlakukan self-filtering atau penyaringan mandiri oleh pengguna. Beberapa sudah dengan baik menerapkan ini, dengan memastikan pengguna terdaftar, yang walaupun bisa memanipulasi usia, untuk bisa mengakses konten bermuatan 18+. Media daring lain, entah karena persaingan merebut kunjungan warganet, malah membangun judul pemberitaan yang mengarah pada clickbait. Konten berjudul gosip, pornografi dan perselisihan, akan memicu pengguna untuk berkunjung, walaupun tak keseluruhan, terutama bagi warganet yang telah memahami alogaritma bisnis media daring.
Sebuah kepanikan pelayan publik juga terlihat ketika harus membeli mesin penyaring konten ratusan miliar rupiah, yang ujarnya bukan mesin penyadap konten. Pun gagasan DNS nasional yang masih diperdebatkan penyelenggara internet. Peta jalan TIK negeri ini pun masih belum terlalu dilihat, entah apa isinya. Namun menjadi penting agar gagasan yang ditebar di dalam Indonesia Internet Governance Forum menjadi lebih menukik dan tak lagi dianggap sebagai wacana semata.
Negeri dengan jumlah nomor seluler lebih berlipat dibanding jumlah warganetnya ini membutuhkan sebuah arah yang lebih baik bagi pemanfaatan TIK. Bukan semata kegiatan-kegiatan sehari hujan dihapus kemarau, pun bukan semata diskusi di pusat-pusat ekonomi, menjadi penting kemudian menebarkan pemahaman dan pengetahuan yang setara tentang TIK ini. Perguruan tinggi berlabel TIK yang sangat sibuk dengan jurnal dan bertemu semata, penyelenggara kegiatan yang berlomba bertempelan pada provider, hingga pelayan publik yang selalu panikan, perlu meletakkan gadget sesaat, dan melihat dengan benar, apakah 100 tahun Indonesia merdeka itu akan berada pada posisi teknologi TIK yang telah memberikan manfaat berkeadilan bagi negeri ini? #entahlah.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply