#AKSI: Pada Saatnya Sih !
“Ini saatnya aksi,” ujar seorang. Menggulirkan semakin banyak wacana, diskusi, dan dilanjutkan dengan aksi, akan bertemu dengan pengubahan. Bisa jadi benar, bila kemudian teori aksi-reaksi-dampak-aksi-reaksi dan seterusnya itu akan membangun guliran koprol berspiral. Namun, benarkah senyatanya itu yang berlangsung?
Ada yang sedikit terlupakan. Bahwa kurikulum pendidikan nasional telah membangun generasi tutorial. Bahwa kurikulum pendidikan nasional telah mewadahi generasi berpedoman. Bahwa kurikulum pendidikan nasional telah berhasil menciptakan robot intelektual. Mungkin saja saia lupa, tapi mungkin tak perlu diingatkan juga.
Ada lompatan waktu dan peradaban yang berlangsung, ketika alam pikir senyatanya telah dimatikan dengan Kurikulum 2013. Pun bila benar metodologi pembelajaran dewasa diterapkan para pembelajar, tetap saja industri penghasil pembelajar telah menyediakan panduan tutorial, lengkap dengan peta jalannya. Akhirnya kemudian, hilangnya kecerdasan generasi adalah sebuah kenyataan yang sedang berlangsung.
Pada sebuah tempat di depan para pahlawan bersemayam, saia bercerita pada seorang, “percayalah, bahwa ada generasi lapis tengah yang bisa mewujudkan mimpi. pun percayalah bahwa ada selapis golongan yang belum tersentuhkan dengan kotornya politik. masuklah dengan cara sangat sederhana, mendengar.” Saia pun menyampaikan titik-titik yang kerap diabaikan ketika berlalu. Tempat berkumpul warga, yang ketika memperoleh perjumpaan berulang, akan mudah untuk mempertemukan gagasan. Tak perlu berbuih-busa. Cukup segelas kopi ataupun teh yang kadang tak perlu pemanis.
Ketika pun seorang kawan berujar, “Aku ingin masuk partai politik, mana yang harus dipilih?” Sekejap saya tawarkan pada dua pilihan sederhana, ingin mapan atau membangun kemapanan yang diharapkan? Ketika ingin mapan, masuklah pada partai yang mapan. Ketika ingin membangun kemapanan yang diharapkan, masuklah pada partai baru yang memang bercita sama, membangun kemapanan bersama. Akhirnya ia terjerembab di dalam sebuah partai, yang entah kenapa ia meyakini bahwa partai itulah yang akan mempertemukannya dengan kemapanan yang diharapkannya.
Ada banyak soal di negeri ini. Ketika sudah semakin sukar untuk menemukan pemimpin yang diharapkan. Ketika sudah semakin tak mudah menemukan pelayan publik yang melayani. Ketika semakin perlu upaya keras untuk bertemu generasi yang bersemangat dalam kebersamaan. Maka memang tak perlu berserah pada sistem yang tengah berjalan. Pilihannya memang hanya dua. Satu, ikut mengalir pada aliran hingga entah kemana ia mengalir. Dua, ikut menciptakan aliran pada aliran yang memang diyakini akan membawa pada tujuan bersama yang diharapkan.
Dan bergeraklah sebagaimana virus. Pun bisa jadi lebih baik bakteri, karena ada yang baik. Namun virus bekerja dengan menginfeksi, menjadikan proses penularan eksponensial. Melampaui waktu kesabaran. Hingga kemudian bertemu pada satu titik, bahwa memang masih ada jalan yang belum pernah dilalui.
Wacana biarlah menjadi wacana. Bahkan ketika #Narsistanding hanya menjadi celotehan di alam media sosial. Menggulirkan gagasan melalui penyesapan alur yang tak pernah disadarkan, akan membawa sebuah kegelisahan semu, yang tanpa sadar, bahwa virus itu sedang menjangkiti. Dan kemudian, terus berlipat, hingga tak ada lagi buncu yang mampu berlipat.
Ragam model sudah dilalukan. Membangun kekuatan dari level hambar hingga level terpedas. Belajar pada 198 cara melakukan perubahan, yang sekarang harusnya semakin bertambah jumlahnya. Lalu, apakah benar mimpi itu sedang berwujud? Atau sebenarnya memang hanya sekadar aksi tanpa reaksi yang bergerak-gerak mengitari poros yang tak berinti? #entahlah. Masih terlalu awal untuk menyatakan bahwa segala adalah kesia-siaan. Masih selalu ada jalan semut yang memberikan cahaya baru.
Ketika seorang kawan berujar, “Ini ada yang bersedia menjadi bakal calon Gubernur.” Maka seketika itupun saia berujar padanya, “Kalau serius, kemenangan itu dimungkinkan.” Tapi itu setahun lalu, ketika masih dua tahun menuju pertarungan Gubernur. Karena berdasarkan pangsit yang tersedia, butuh setengah periode kepemimpinan untuk mempersiapkan pemimpin berbeda. Dan kemudian, saia tak lagi mendengar kabarnya.
Aksi, harus bertemu dengan reaksi. Karena aksi tanpa reaksi, hanya akan jadi nasi, bukan bubur ayam yang senantiasa menanti disuapkan. Aksi pun bukan sekadar memendam wacana dalam satu ruang. Waktu telah terus berdetak membawa alam pikir pada titik bertemunya gagasan. Dan sudah terlalu kerap memperdengarkan, “gagasan itu sudah diadopsikan“. Namun saia pun tak pernah tahu, jalan mana yang telah terpilih hingga mempertemukannya. #GituSih.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply