bahagia sejahtera
“Bapak itu menambil jelly dari tempat sampah, lalu dia memakannya. Ia juga meminum dari gelas berlabel restoran cepat saji itu”, ujarmu sambil mengalirkan air mata dari kedua matamu yang mulai melelah itu.
Aku hanya bisa berdiam. Ceritamu adalh bagian dari banyak cerita yang kerap kudengar dan kusaksikan. Pada setiap ruang waktu dalam beragam perjalanan yang kulalui. Negeri ini memang masih gagal untuk menemukan cara yang tepat untuk mewujudkan makna pasal 34 Undang-undang Dasarnya. Kartu Indonesia Sehat, Kartu Infonesia Pintar, BPJS dan beragam bentuk bantuan sosial, hingga keberadaan panti sosial dan rumah singgah, belum bertemu pada tujuan adanya.
“Di Belanda, homeless diberikan tempat tinggal yang layak. Orang-orang yang berpunya di Utrech diwajibkan membeli satu flat (rumah susun) dan membantu modal usaha bagi mereka yang tak memiliki pekerjaan. Mereka berdagang beragam barang, dan di akhir pekan, mereka kembali pada keahliannya, mengamen dengan beragam bentuknya, pada satu taman.” ceritamu, menguraikan perjalananmu di negeri kincir angin itu, saat belajar tentang perubahan iklim.
Ya. Setiap negara punya caranya sendiri untuk membantu mereka yang belum menemukan keberuntungannya. Mereka berupaya memastikan bahwa tak ada yang berada pada titik terendahnya. Pun pada setiap agama yang menjadi keyakinan setiap orang. Selalu ada yang tertulis maupun tidan, untuk menopang kehidupan sesama. Lalu, mengapa selalu ada Bapak itu, dan ribuan yang serupa dengannya pada setiap tepi jalan kota?
Aku beberapa kali mencoba menjadi penopang itu. Agar mereka yang di sekitarku tak berada pada titik terendahnya. Namun mereka punya caranya untuk menentukan jalan yang diambilnya. Tak mungkin aku memaksakan apa yang ingin mereka ambil. Hanya memberikan penunjuk arah dan memberikan sedikit bekal agar kemudian mereka menemukan jalannya.
Terkadang aku harus membenturkan mereka atas realita satu putaran waktu ke depan. Ketika kemudian mereka tak menyadari, tak ada lagi yang dapat kulakukan. Hanya tinggal pada pengharapan, ia akan menemukan jalannya.
Aku juga dipertemukan dengn tiga dari empat buyut dari seorang tokoh pendidikan kota ini. Mereka sangat terbatas dalam menjalani hidupnya, termasuk untuk pendidikan mereka. Tak ada yang mendengar cerita mereka. Beruntungnya mereka bertemu dengan seorang perempuan paruh baya, yang memiliki prinsip sederhana dalam hidupnya, berupaya untuk membantu sesama.
Pengetahuan itu bagian dari keluar pada ruang yang kurang menyenangkan. Selain pada alat-alat produksi yang mampu menopang kehidupan. Cerita-cerita dalam beragam buku telah memberikan catatan penting, bagaimana keduanya, ditambah dengan solidaritas kolektif, akan membawa kebaikan bersama. Dan itu masihlah hanya sekedar cerita dan diskusi-diskusi di meja ruangan berpendingin. Sesekali jad cerita di warung kopi tepi jalan.
Aku hanya mampu berujar padamu, “Setiap kita memiliki cara sendiri untuk menemukan kebahagiannya”. Ya, selalu ada cara dan jalan yang ditunjukkan untuk itu. Sama halnya ketika kamu bertanya, “Mengapa menjadi dekat?” Yang pada sebelumnya tak pernah menjadi bagian dari cerita. Selalu ada energi yang menggerakkan, pada setiap langkah dan pengharapan yang digumamkan.
Aku, di sebuah pemberhentian ini kembali dipertemukan pada mereka yang berupaya menemukan kebahagiaanya. Perempuan yang pastinya dalam usia sekolah, menemani ibunya yang terus menawarkan segelas teh dan kopi hangat, sambil sesekali matanya memastikan petugas keamanan tak sedang mengawasi mereka. Karena, kerap mereka harus duduk di mobil yang bersirine mengelilingi perhentian ini. Lalu kemudian mereka dilarang untuk kembali memperoleh rejekinya di ruang itu.
:belajarlah pada setiap ruang, agar apa yng menjadi jlalan yang diyakini akan menemukan garis akhirnya, dan tak sekedar menjadi selebritas waktu.
Related
1 comment
Leave a ReplyCancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
“Terkadang aku harus membenturkan mereka atas realita satu putaran waktu ke depan.”
Sebagian rakyat kita, Rakyat Kecil (wong cilik) hanya berpikir bagaimana cukupi hidup hari ini dan besok, bila lusa terjadi musibah mereka akan memelas meminta bantuan orang lain. Meminta lebih baik, dari pada mereka terpaksa akan mencuri atau merugikan orang lain. Kadang sedihnya dalam meminta Haknya sebagai warga negara saat terjadi musibah di negeri ini belum semudah yang dibayangkan saat melihat di televisi seorang pemimpin membagikan kartu kepada masyarakat dengan mudah bahkan si penerima bantuan mendapatkan senyuman manis dan terekam di layar televisi. Kenyataan dilapangan ada orang yang saya persilahkan menggarap lahan saya (hasilnya 100% disilahkan untuk ybs) mendapat musibah anaknya kecelakaan, ternyata proses menebus biaya berobat anaknya jauh dari sesuatu yang dikatakan mudah.
Sementara sebagian rakyat kita, wong Pejabat, pengambil keputusan, hanya berpikir bagaimana diri dan kelompoknya selamat dalam setiap periode putaran durasi 5 tahunan. Selamat dari aksi balas dendam lawan politiknya, selamat tetap berada di kursi kekuasaan sehingga bisa menjamin 7 turunan anaknya selamat di dunia ini. Masalahnya yang terjadi program tiap siklus hanya berlangsung satu periode dan fokus pada pencitraan bukan semata-mata untuk tujuan yang ada pada pembukaan dan isi UUD atau tujuan sang pencipta kenapa dia diciptakan.
Berbeda dengan seorang tokoh pendidikan… Tokoh pendidikan biasanya mengukur kekayaan bukan dari harta, tahta. Buyut seorang pendidik biasanya diwariskan nilai2 pengetahuan, budi daya. Warisan yang mengarahkan pada dia berhasil dalam kehidupannya tanpa selalu harus menjadi kaya tapi dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Jadi, bangsa ini sekarang memang dalam masa tumbuh menjadi lebih matang. Masalah-masalah di rakyat kecil dan juga pejabat masih diselesaikan dengan memberi masalah baru. Celakanya kita masih beberapa kali harus jatuh pada lobang yang serupa tapi tak selalu sama. Suatu saat kita akan benar benar berjalan untuk tujuan yang sama sesuai amat para pendahulu bangsa yang tertulis sakral pada tahun kita merdeka. Sesuatu saat kita akan bergerak mengarah fokus pada tujuan tanpa ada kosmetik pencitraan semata. Entah kapan, karena sebagai suatu bangsa, suka tidak suka, bangsa lain juga tetap berkeinginan agar bangsa kita tetap menjadi saingan yang mudah untuk dikorbankan. Cara yang mudah untuk para pesaing kita adalah membuat kita bercerai berai, saling dendam, saling balas, saling hujat, dan terus menjadi customer/pelanggan produk mereka dengan dipersulit menjadi negara yang berproduksi.
Mas Timpakul, tetap semangat terus beri mereka pencerahan agar tetap hidup dimuka bumi ini dengan bermartabat dan memberikan kontribusi positif bagi orang lain disekitarnya. Sementara bagi para pejabat, bangunkan mereka dari ambisi libido kekuasaan, harta dan tahta semata serta polemik balas dendam, memecah belah hanya demi kelompok dan pribadi semata, Sadarkan mereka kembali pada tujuan berdirinya negara ini, dan mengapa rakyat memberi amanat pada mereka. Biarkan bangsa ini menjadi bangsa yang Besar dan Berjaya rakyat yang makmur dan sejahtera. Saya tulis “biarkan” karena memang seharusnya bangsa ini menjadi bangsa yang hebat, rakyat yang kuat, cukup dengan berpikir dan berbuat/bekerja yang positif yang sewajarnya. Tapi memang kalau saat ini hanya “kerja, kerja, kerja” tanpa proses berpikir sejenak untuk menyiapkan suatu rencana, kontrol dan evaluasi bisa kebablasan nanti di ujung akhir hasil kerja. Apalagi kalau semua itu hanya pemanis bibir saja … Bangun ayo bangunkan mereka dari mimpi basah dan masturbasi (melakukan sesuatu sendiri demi kepuasan sendiri),
Ayo wujudkan tujuan para pendiri bangsa sebagai arah pemersatu gerak bangsa Indonesia.