Banjir itu bukan urusan sampah !
“Makanya, ikam pang buang sampah sebarangan, banjir kalo jadinya” Begitulah ungkapan yang paling kerap didengar dan dibaca ketika banjir merata di sebagian wilayah kota #Samarinda. Pun sekarang ditambah juga dengan sambatan, “Ikam hanyar kah di Samarinda?”
Ada proses pelepasan tanggung jawab negara, dalam hal ini Pemerintah Kota, ketika dua kalimat tadi menjadi viral dalam menjawab pengelolaan air kota. Sampah, seolah dapat menjadikan banjir kota, yang sejatinya hanya mengontribusi pada adanya genangan. Pun label “samarendah”, yang diungkapkan sebagai awal nama kota, walau tak ada dasar kuat untuk itu, menjadi permakluman terhadap kota yang berada 0-200 meter dari permukaan laut ini.
Sampah berkaitan erat dengan kesehatan serta kualitas air dan tanah. Namun sampah bukanlah akar banjir. Sampah berelasi kuat dengan keindahan dan kenyamanan, namun sampah bukanlah kambing hitam banjir.
Banjir Samarinda memang anugerah. Karena tanah Kalimantan tersusun lebih banyak dari liat (clay), yang memang sangat lamban dalam menyerap dan melepaskan air. Pun pada lapisan batuannya, tak menjadikan kerak bumi menjadi siklus yang laju untuk mendistribusikan partikel air. Karenanya kemudian, tanah Kalimantan dihamparkan dipterocarpa dan vegetasi hutan tropis, yang akarnya membantu mempercepat penyerapan air ke sela partikel tanah.
Membaca ekosistem Kalimantan, yang sebagian diliputi kapur hingga karst, rawa hingga gambut, sedikit kerangas dan lebih banyak hutan dikotil, maka mengelola daur hidrologis pun harus mendekatkannya pada kelakuan ekosistemnya.
Ketika kemudian kapur dan karst diruntuhkan, maka harus dicari model kelola yang sepadan. Bagaimana membangun struktur dan ruang yang mampu menyerapkan dan menyaring air agar kemudian menjadi basa dan tak berwarna. Ketika kemudian rawa dan gambut dikeringkan, maka kemudian harus ada teknologi yang mampu menjadi spons besar dan mengasamkan air. Keduanya adalah kesetimbangan, yang menjadikan air sebagai asupan kehidupan.
Pun ketika ekosistem tropika humida diratakan, maka bangunan seperti apa yang akan menggantikan tajuk dan akar, hingga air tak menempa keras tanah dan memberikan jalan bagi air untuk bergumul dengan tanah. Rumus sederhana neraca air, dapat menjadi timbangan untuk memastikan tingkat curah hujan tak terlalu surplus ataupun defisit.
Lalu apakah tak ada teknologi untuk menggantikan pengatur neraca air alami? Untuk kapur, karst, rawa, gambut dan kerangas, saia belum menemukan teknologi, struktur maupun ruang yang bisa menggantikannya. Makapun untuk kawasan itu harus dilindungi dan tidak diubah menjadi bentang alam lain. Pun bilamana sudah digantikan, maka pilihannya adalah melakukan restorasi. Bilamana sudah tak mampu juga, maka nikmatilah surplus dan defisit air yang ekstrim. Bila ingin menjawab dengan teknologi, saia akan paparkan bila pemerintah masih punya jiwa.
Terhadap ekosistem hutan hujan basah, yang kemudian menjadi areal perumahan dan pergedungan, maka ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan, yaitu:
- Menata zonasi pembukaan lahan, dengan memberikan tempat bagi pepohonan berbiji dua, setidaknya 30% dan bergantug pada jenis tanah dan topografinya.
- Membangun kolam pengendali air, yang lokasinya berada pada titik penerima limpasan bangunan secara kolektif.
- Membuat sumur resapan pada setiap bangunan, dengan menghitung curah hujan maksimal dikali luas penampang horisontal bangunan, sehingga sumur resapan akan menampung seluruh limpasan air permukaan lahan bangunan pada kondisi curah hujan maksimal.
- Membuat drainase dengan tambahan water trap dan sedimen trap. Sedimen trap dibuat untuk mengumpulkan erosi lapisan tanah, dan water trap dibuat untuk memberikan ruang bagi air untuk menyesap ke dalam tanah, sehingga tak seluruhnya mengalir di permukaan.
Dalam hal kebijakan, maka hal-hal tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Daerah, yang setidaknya dapat bertopik Kawasan Lindung Kota, Pendirian Bangunan (Izin Mendirikan Bangunan), dan/atau Pembangunan Kawasan Permukiman, Perkantoran dan Komersil. Pilihannya adalah mau sedikit atau banyak Perda.
#GituSih teori ini tak penting, dan tidak konkrit. Menyesap deh anda sudah membaca sampai kalimat tak penting ini.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply