Cerdas 3.0: Tantangan Mewujudkan Smart People Samarinda
Pagi ini saia bangun dengan membaca dua cerita di linimassa. Satu cerita tentang bagaimana perjalanan seorang guru besar di perguruan tinggi negeri teratas, yang mulai dari ketiadaannya hingga harapannya agar perguruan tinggi memberikan kesempatan bagi mereka yang belum berpunya untuk berkesempatan memperoleh pembelajaran di perguruan tinggi negeri. Cerita kedua tentang kilas cerita ketika seorang pembelajar arduino menemukan tempat untuk berkreasi bersama pelajar pada sebuah sekolah. Dua cerita ini merupakan dasar berpijak untuk mengembangkan #SmartPeople dalam rangkaian cerita Smart City #Samarinda.
Permasalahan utama dari kecerdasan adalah soal kesempatan memperoleh pengetahuan dan mengujicobakan pengetahuan yang dimiliki. Apapun dia, selalu hadir dengan kecerdasan yang berbeda. Sistem pendidikan nasional telah dengan jelas mengubah arah pencerdasan menjadi arah pemintaran, yang kemudian hanya menghasilkan robot-robot intelektual yang tak berhati dan masih dalam fase 1.0. Robot intelektual hanya mampu mengerjakan perintah, dengan kesuksesan dimatikannya kemampuan AI-nya untuk kemudian mencipta dan mempertemukan jiwa.
Situasi ini bukan tidak dapat dijawab di tingkat lokal. Walaupun jelas, bahwa sistem pendidikan itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pun saat ini kewenangan pengelolaan pendidikan menengah atas telah dialihkan ke tingkat pemerintah provinsi. Maka pemerintah kota memiliki beban tanggung jawab terberat untuk menghasilkan dan membangun pondasi anak bangsa, dengan kecerdasan dan sensitivitas sosial, agar kemudian menjadi generasi yang dapat menemukan dirinya pada rentang pendidikan berikutnya.
Dalam mengembangkan smart people pada warga, sangat penting untuk menyediakan sumber pengetahuan yang seluasnya. Literasi digital menjadi salah satu tulang punggung untuk ini, hingga kemudian lahir generasi pembaca dan generasi berkarya. Semakin banyak buku, utamanya dasar pengetahuan, yang disediakan dalam medium yang lebih murah, akan mendorong lahirnya pengetahuan dan keahlian baru pada ragam level. Tentunya ini harus ditopang dengan metodologi pembelajaran yang tepat di pendidikan formal. Karena, sadar atau tidak, ketergantungan generasi telah diletakkan pada pendidikan formal, bukan lagi pada pendidikan keluarga.
Dalam memperluas pengetahuan ini, maka kehadiran perpustakaan atau rumah baca di tingkat Rukun Tetangga menjadi hal yang perlu didorongkan. Tidak lagi mengandalkan pada perpustakaan kota ataupun provinsi. Pun bila ingin lebih cepat, dapat memastikan perpustakaan sekolah berfungsi layaknya perpustakaan umum, yang tidak hanya menyediakan bahan bacaan untuk peserta didik, namun juga bagi warga sekitar sekolah. Saung atau apapun namanya perlu dihadirkan kembali untuk membangun diskusi warga.
Pun sistem pembelajaran sekolah harus ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi informasi, yang tidak harus dengan biaya tinggi ataupun membangun aplikasi baru. Banyak perangkat lunak berliensi bebas yang dapat digunakan. Pemerintah kota hanya perlu membangun Samarinda Internet Exchange (SIX) dan server-farm, yang juga dapat memanfaatkan komputer dekstop yang sudah semakin tak digunakan di perkantoran. Pun bisa memanfaatkan sistem desentralisasi cloud, dimana penyimpanan digital memanfaatkan sisa wadah penyimpanan pada perangkat yang tersedia di dalam jaringan SIX.
Kurikulum, yang tentunya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dapat dimodifikasi dengan melakukan pengisian konten lokal, dengan cara lokal pun. Pendekatan budaya lokal dalam membelajar, dapat menjadi pemicu untuk mendekatkan warga belajar pada isu-isu lokal. Dan ini akan mendorong kelahiran kecerdasan yang dibutuhkan bagi kota pada fase 10-20 tahun mendatang.
Meningkatkan kecerdasan pada level pelayan publik atau aparatur sipil negara dilakukan dengan pendekatan penilaian berbasis kinerje. Bilamana kinerja tidak sesuai, maka dapat diberikan sanksi secara bertahap dan bertingkat. Indikator kinerja benar-benar diukur dari standar pelayanan minimal yang harusnya diberikan. Bilamana tidak ada keinginan bagi pelayan publik untuk meningkatkan kapasitasnya, maka sudah dapat dipastikan mereka harus berhenti menjadi pelayan publik. Seluruh kinerja pun harus terpantau secara obyektif, tanpa melibatkan secarik kertas kecil sebagai permakluman.
Tak ada yang tak cerdas. Ini yang harus menjadi ruang pemahaman bersama. Setiap kita memiliki kecerdasan pada bidangnya, yang tak dapat diperbandingkan sisi satu dengan sisi yang sama. Selalu ada sisi berbeda dalam kecerdasan, yang bila diperkumpulkan, akan menghasilkan karya yang lebih baik bagi kolektif. Hanya saja, tantangan terbesar di sektor yang berlimpah uang dan celah untuk korupsi ini, memerlukan kepemimpinan yang kuat dan akuntabel. Akankah mampu? #Entahlah #GituSih
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply