integrasi
Menteri mengembangkan wilayah terpadu berbasis Perhutanan Sosial/integrated area development untuk peningkatan pembangunan ekonomi di desa. Pengembangan wilayah terpadu berbasis Perhutanan Sosial dilakukan secara terintegrasi dan kolaborasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, akademisi, swasta, dan Masyarakat. [PermenLHK No. 9 tahun 2021 pasal 193 (1) & (2)]
Integrated Area Development atau sebaiknya kebijakan memuat kalimat dalam bahasa Indonesia, yang boleh jadi adalah “pengembangan pembangunan terintegrasi” untuk perhutanan sosial merupakan salah satu jalan untuk mempercepat proses persetujuan dan pengembangan persetujuan perhutanan sosial, terutama dari aspek ekonomi. Gagasan perhutanan sosial bergerak dari sistem hutan kerakyatan (SHK), ataupun model lain yang disebut kehutanan masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pengelolaan hutan oleh masyarakat, dan berbagai gagasan lainnya. Sembilan prinsip SHK, yang kemudian direduksi menjadi tiga prinsip, yang dibingkai dalam bioregion, menjadi gagasan yang kemudian tergerus dalam persetujuan perhutanan sosial. Pembatasan akses, apalagi kontrol, di dalam perhutanan sosial, telah mengalir menjadi mekanik administratif, sehingga angka terus bertambah, namun prinsip SHK hanya sedikit yang masih memegang prinsipnya. Angka jumlah dan luas persetujuan perhutanan sosial, menjadi indikator singkat yang diuji dalam beragam pemantauan dan evaluasi proyek maupun program.
Prinsip pertama dengan menempatkan rakyat sebagai subyek ataupun aktor utama dalam pengelolaan hutan, dengan definisi masyarakat lokal maupun masyarakat adat, serta kunci utama akses dan kontrol, direduksi menjadi kelembagaan yang dibentuk tanpa melihat unsur lokal pun adat. Prinsip kedua untuk memastikan adanya wilayah yang ada kejelasan, pastinya perlu ditunjukkan dengan peta atau sketsa yang dibangun dari pengelolaan sebelumnya, maupun hukum-hukum adat/lokal, maupun pengetahuan yang masih dimiliki, memerlukan kepastian hukum yang mendukung, bukan sebagai persetujuan mengelola, namun hak untuk akses dan kontrol terhadap lahan. Prinsip ketiga yang mengedepankan interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat, menjadi hal yang didokumentasikan dan dimiliki pengetahuannya, sehingga pertanyaan akan dikelola sebagai apa wilayah kelola tersebut, tak lagi menjadi tanda tanya.
Prinsip keempat yang menempatkan ekosistem sebagai bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat, menjadi pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh rakyat. Bila pun masih muncul pertanyaan, bagaimana kepastian keberlanjutan ekosistem, bukanlah sebuah pertanyaan yang perlu diajukan. Prinsip kelima, pengetahuan lokal (indigenous knowledge) menjadi memori kolektif yang masih dipelihara dan dipraktikan. sehingga sistem pengelolaan hutan telah berjalan bukan dalam kurun waktu dekade, namun menjadi peradaban yang terbangun, namun tidak menafikan pengetahuan modern sebagai pengembangan pengetahuan dan teknologi. Prinsip keenam menempatkan teknologi lokal ataupun teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat.
Prinsip ketujuh merujuk pada skala produksi sesuai dengan pengetahuan dan kapasitas yang dimiliki, serta hanya dibatasi oleh prinsip keberlanjutan/kelestarian (sustainability). Prinsip kedelapan menempatkan sistem ekonomi untuk kesejahteraan bersama, penguasaan sistem ekonomi bersandar pada ekonomi kerakyatan. Dan prinsip kesembilan menempatkan keanekaragaman hayati (biodiversity) sebagai hal yang mendasari, baik keanekaragaman jenis dan genetik, pola budi daya dan pemanfaatan sumber daya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
Pengembangan pembangunan terintegrasi (atau bolehlah disingkat sebagai IAD) sejatinya sudah terjawab dengan sembilan prinsip SHK tersebut. Bagaimana kemudian para pihak memberikan dukungan dengan kerelaan untuk memperkuat kapasitas terhadap akses dan kontrol wilayah yang dikelola, menjadi hal yang sudah selayaknya dilakukan. IAD bukan sekadar menyusun dokumen melalui ragam pertemuan. IAD diterapkan melalui pemetaan. para pihak yang punya potensi memberikan dukungan terhadap praktik kelola lahan rakyat, yang juga dapat berkontribusi pada peningkatan ekonomi kerakyatan secara kolektif. Komitmen para pihak menjadi kunci. Perundingan yang setara penting dilakukan. Indikator kunci dibangun bersama, dapat menggunakan metoda Delphi.
Integrated adalah kata yang kerap muncul. Pendekatan keterpaduan masih ditempatkan sebagai pilihan untuk bangkit secara bersama-sama. Leave no one behind sebagai prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs) merupakan arah perjalanan. Perhutanan sosial memerlukan refleksi pada titik bermula sistem hutan kerakyatan digagas. Bukan sekadar persetujuan, namun mengembalikan akses dan kontrol pada mereka yang masih mengelola dan mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan pengelolaan hutan, yang diyakini mengandungi prinsip kelestarian, ekonomi kerakyatan dan keberlanjutan keanekaragaman hayati. Pendekatan IAD dalam perhutanan sosial haruslah ditempatkan pada merangkai ulang puzzle yang berserak.
[belum selesai]
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply