Metamorfosa Seekor Berudu
senja temaram. langit menghitam berselaput kabut karbon yang mengangkasa dari lubang knalpot pergerakan kota. jingga memerah di ufuk. gedung menjulang menembus keriuhan kota. orang-orang bergegas. entah kemana.
kolam kecil di tepi sebuah pagar menggemericikan air yang terus berputar. asap rokok putih menari mencari arah dan menghilang. suara kodok itu mengingatkan pada pemimpin negeri yang belum mampu membenahkan negeri. deru mesin air menjadi irama senja.
caci maki berbuah penjara. walau membela diri, atau meneggakkan dagu agar tak tertindas. hukum memberangus kekebasan berkata. seorang perupa harus kehilangan karya, yang diambil sekelompok golongan atas nama iman. organisasi massa dibubarkan atas nama penegakan ideologi.
senyap. hening binatang malam menjadi bungkam. satu nada menjadikannya dibekap dan dibisukan. gerak penghisapan terus berlanjut. lembar-lembar perijinan ditandatangankan. esok pagi, hamparan dipterocarpa menjadi tanah merah merekah. lusa nanti, sebongkah bukit menjadi kolam besar.
jargon menyelamatkan bumi menjadi petaka. keberlanjutan dan kelestarian dilabelkan dengan standar-standar yang hanya jadi daftar dokumen yang tak pernah dilakukan. lalu dengan bangga berujar, “kamilah pejuang kehidupan.”
air hitam di sela akar gambut mulai memutih. ikan-ikan enggan menyembunyikan telurnya. bising kipas tugboat yang menarik ponton memekakkan pendengaran pesut mahakam, yang terus menghindar, mencari tempat bermain dan bermakan yang sunyi. Bekantan mungkl menyembulkan kepalanya di dekapan bunda, menyaksikan kayu bulat menghanyut di Mahakam.
Ini peradaban baru nusantara. Budaya lahan kemudian hanya menjadi diskursus yang secuil. Tarian pesta panen tak lagi digelar. “Tak ada padi yang dipanen, tak ada ladang yang ditugal, Tak ada lahan walau hanya untuk sekadar berbaring melepaskan penat”.
Seraung mengering dan rapuh. Doyo berganti rayon dan plastik. Papan perahu disingkirkan serat kaca. Dentingan sape’ berselaput pemutar musik digital. Lalu, asin naga, batu lele, hingga layangan hanya bisa dimainkan di gawai.
Energi manusia menyerap habis energi bumi. Bahan bakar fosil terus disedot dan dibongkar dari keraknya. Pun methana yang tertidur mulai dikilik-kilik. Dalih krisis menjadikan kempotnya bola dunia.
Apa kabar matahari, yang katanya cahayanya mampu menerangi malam. Apa kabar energi nabati, yang ceritanya akan menggerakkan roda. Apa kabar selulosa, yang kesahnya dapat meningkatkan ekonomi sesama. Burung mungkin masih berkabar. Entah kapan mereka berhenti bergumul di tepi sungai bersama embun semalam.
Kodok atau entah katak itu masih berceloteh. Entah riang, entah sedih. Berudu kecil masih berenang di tepi kolam semen. Mencoba meraih oksigen yang kian menipis. Metamorfosa pelayan publik sedang tak menuju kesejahteraan bersama. Perubahan memang terjadi, menuju pengendalian diri. Dan kemudian, tersadae bahwa ini adalah kolam terakhir, yang masih memberikan panggung bagi kodok untuk bersenandung.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply