Nyampah
Semalam menyaksikan diskusi para tetua sebuah organisasi lingkungan yang cukup besar di tanah Java masa lalu. Semacam merawat memory, mereka bertemu. Ada yang kemudian menjadi PNS, wiraswasta, aktivis, hingga akademisi. Mereka dipertemukan dalam pendidikan dan pelatihan. “Kita akan buka lagi tahun ini, sekarang sedang disusun ulang modulnya,” ujar kawan itu padaku berulang.
“Bupati ingin agar ada tindakan yang meluas soal sampah,” ujr sang PNS. Jabatannya strategis, Kepala Bidang. Ia bahkan telah mengubah bekas Tempat Pembuangan Akhir Sampah, yang sudah tak digunakan sejak lebih lima belas tahun lalu, menjadi sebuah Ruang Terbuka Hijau. 2,4 hektar itu diubah dengan cepat, 2 tahun, tak sampai 1 miliar dengan APBD, sisanya hingga 7 miliar dengan CSR individu ataupun perusahaan. “Saat ini Bupati sudah memerintahkan semua PNS untuk berbuat. Namun perlu berbuat lebih, apa yang bisa dibuat”.
Berjam-jam mereka berdiskusi, saling bersenda, hingga bercaci. Itulah pertemuan yang melelahkan. Berulang dan berulang. “Ada datanya nggak?” tanya sang konsultan. “La iku, ada datanya. Tapi kita ingin tau dulu, apakah sama kita soal zero waste,” ujar sang pebisnis. Ia menyebutkan zero waste sesuai dengan tulisannya. ze-ro-was-te.
Semakin lelah, karena saia baru tiba di kota ini, setelah perjalanan panjang dari pulau berbeda. Akhirnya saia masuk dalam perbincangan mereka, “shortcut ya?” ujarku.
Kabupaten ini sangat beruntung soal sampah, Bupati mau memimpin perubahan. Gunakan kewenangan, bukan lagi soal sekadar menjadi contoh. Berapa banyak sampah dari rumah tangga? Sebagian besar sampah bisa diturunkan dari ruang yang di bawah kendali kewenangan Bupati. Gunakan itu.
“Lha ini. Kok nggak kepikiran ya,” ujar sang Kepala Bidang. Begitulah wajah aktivis yang birokrat. Terkadang melupakan bahwa ia telah punya kewenangan yang berbeda. Dengan regulasi, ada yang bisa dibuat. Hanya butuh keberanian dan kecerdasan dalam menggunakannya. Perubahan cepat bisa terjadi. Agak aneh bila ada pejabat yang kemudian hanya sekadar berkontribusi secara personal pada perubahan kota, padahal dia punya kewenangan lebih untuk itu. Artinya ia sedang berupaya untuk mencitrakan dirinya, dengan dalih berkontribusi pada gerakan.
Lalu saia paparkan mapping yang saia lakukan dan resolusi sampah dari sisi kewenangan dan bagaimana menjalankannya. Sangat sederhana sebenarnya, hanya butuh seorang pemimpin cerdas, bukan pejabat narsis.
Akhirnya obrolan tengah malam ditutup. “Kita endapkan dulu malam ini, besok ngobrol lagi,” ujar sang kabid.
Saia sendiri memperoleh banyak pengetahuan dan keterkejutan dengan kabupaten ini. Ada masalah yang lebih besar, mereka yang pernah satu organisasi lingkungan ini, dan telah pada zona nyamannya, hanya berkutat dengan sampah. “Itulah. Ada jutaan ton lumpur yang bisa jdi bencana, ditambah dengan gas racun yang menebar setiap saat darinya, nggak pernah mau mereka dibicarakan. Pun oleh para PNS. Mereka menyebutkan sudah selesai itu lumpur,” ujar kawan aktivis yang kini jadi peneliti.
Begitulah, 2,4 hektar TPA yang menjadi RTH, dan berhektar-hektar lumpur beracun yang harus dipulihkan, hanya akan berakhir sebagai geopark. Kabupaten ini unik, dengan ragam keunikannya, termasuk para kawan itu. Dan pada mereka saia belajar tentang semangat sampah pada generasi X.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply