#PantjaSila 2.0
Hari ini disepakati sebagai kelahiran lima kalimat yang disebut sebagai sila, yang kemudian disepakatkan sebagai dasar negara. Pancasila. 1 Juni akhirnya ditambahkan sebagai daftar hari berlibur nasional. Pun kemudian setiap pengguna media sosial menggunakan avatar hingga mengetikkan “Saya Indonesia, Saya Pancasila“.
Proses pengkalimatan dari lima sila itu bukanlah berada pada satuan hari. Ada dialektika yang berlangusng, hingga kemudian menemukan kalimat saat ini. Pun wujud burung Garuda, yang diyakini sebagai wujud serupa Elang Jawa, berasal dari sebuah dinamika dan diskursus yang tak singkat. Namun kemudian, kalimat-kalimat itu hanyalah menjadi teks, sukar untuk menemukan pemaknaan konteksnya.
Pernah berlangsung proses penginterpretasian sila ke dalam butir-butirnya, pun ada sebuah badan yang menguruskan doktrinasi butir-butirnya. Lalu kemudian, pasca runtuhnya kekuasaan penggagasnya saat itu, butir-butir penerjemahan sila kemudian dihilangkan, bersamaan dengan hapusnya badan yang mengurusi penghayatannya.
5 kalimat yang dituliskan itu tak mudah untuk diamalkan, apalagi untuk diimplementasikan. Proses pendidikan nasional yang telah gagal menemukan ruh nusantara dalam kebangsaan, telah menjadikan teks hanya sekadar teks. Pun terjauh menjadi avatar ataupun meme. Memaknakannya harus melalui proses yang tak selalu linier, mulus tanpa benturan, dan dengan membelenggu pikiran.
Rezim kekuasaan hari ini, yang masih melanjutkan kekuasaan paranoia, selalu berupaya memberangus kekebasan berpikir kritis. Pun presekusi menjadi seolah kebenaran, untuk membunuh kreativitas generasi. Suasana berdiskusi, menuliskan, dan membacakan, telah dibunuh perlahan melalui pembakaran buku yang tak sepaham dengan kekuasaan. Mimbar kebebasan akademik pun tak lagi nampak. Lalu bagaimana kemudian warga dapat memahamkan Pantjasila?
Politik yang berorientasi pada kekuasaan ekonomi, dimana tumpuan sumber ekonomi politikus masih pada anggaran publik, melahirkan organisasi politik yang cenderung berada di medan politik yang tanpa memahami makna demokrasi. Pun kemudian keyakinan pada Tuhan, lalu dikanalkan sebagai agama, yang melanjutkan model pertarungan antar golongan agama pada fase kebodohan. Ketika kemudian dua aras ini bersatu, politik dan agama, lalu kemudian lupakanlah soal menemukan makna kemanusiaan, persatuan, demokrasi, apalagi keadilan sosial.
Cara pikir dan cara pandang, yang menjadi nadi implementasi, dibentuk oleh pengetahuan dan cara menemukan pengetahuan itu. Proses pendidikan dan pengajaran yang mencurahkan, tanpa membangun daya pikir dan daya nalar, telah sukses untuk menjadi belenggu penemuan kebenaran dan pemaknaan. Pemberangusan literasi, dengan memusnahkan segala bentuk teks, gambar, suara dan video, yang tidak berada pada ruang yang sama dengan kekuasaan dan mayoritas, merupakan keberhasilan utuh dalam membunuh pemahaman terhadap sila-sila pondasi negeri. Pun budaya proteksi yang salah jalan, hingga hukum penyaringan (filtering) yang dipenuhi dengan ketakutan, telah sukses menenggelamkan kemampuan analisis dan mengambil keputusan, hingga memahami metodologi pada generasi Z hingga generasi alpha. Semoga tak terjadi dan berlanjut pada generasi beta.
PantjaSila pada dekade ini telah memasuki fase 2.0. Karena tak diperkenankan adanya fase 3.0 terhadap pemaknaan sila itu. Hanya sampai pada membagi bahwa sila-sila itu masih dihapalkan dan masih dapat menyanyikan lagunya. Belum sampai pada memahami bahwa mengaku sebagai PantjaSila itu sangat teramat berat. Tak mudah untuk berkeTuhanan dengan benar. Sukar untuk menjadikan manusia pemuh dengan keadilan dan keberadaban. Apalagi untuk menyatukan Indonesia. Karena menemukan rakyat yang siap dipimpin dalam sebuah kehikmatan yang bijak masih sangat jauh. Apalagi untuk kemudian mewujudkan adil secara sosial.
PantjaSila itu adalah kalimat yang perlu didialogkan. Bukan hanya dibacakan dengan lantang setiap upacara bendera. PantjaSila itu bukan hanya lima, karena yang lima itu hanyalah sebagai dasar bagi ribuan tindak dan perilaku berkehidupan bermasyarakat dan bersosialita. PantjaSila pun tak semata diletakkan pada setiap dinding kelas yang masih mengajarkan penggolongan dan penindasan pikiran. Burung Garuda pun tak perlu hanya dinyanyikan, tanpa pernah membiarkannya terbang lepas melintas daratan dan perairan nusantara.
Berhentilah ketakutan tak berdasar terhadap tulisan, buku, lagu, video, dan ragam produk pikir lainnya. Berhentilah menakuti pemikiran, yang kadang tak pernah dipikirkan. Berhentilah menggunakan gunting sensor, hanya karena ketakutan doktrinasi, yang justru dilakukan dengan mendoktrin. Beranguslah persekusi, karena membunuh kemanusiaan. Dan yang terpenting, berhentilah membaca ini, karena tak penting untuk dibaca. Lebih baik mulailah menuliskan pikir galau atau nonton drama korea. #GituSih
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply