Penjarakan Yang Tak Kau Sukai !
Southeast Freedom of Expression Network merilis data bahwa telah terjadi 385 kasus menggunakan UU ITE yang terdata, selama satu tahun perubahan UU ITE. Penggunaan UU ITE untuk menghilangkan kebebasan seseorang kian kerap dipergunakan, dan sebagian besar kasus berkaitan dengan peristiwa politik praktis yang sedang berlangsung. Pun semakin menguat, ketika saling berujaran kebencian, menjadi sebuah pola yang dikumandangkan melalui media sosial.
Terlalu banyak kasus, yang seharusnya tidak perlu masuk ke ranah hukum, dan terkadang cenderung mengada-ada, karena kemudian merasa sebagai pihak yang dihinakan atau dicemarkan nama baiknya. Angka yang dicatatkan oleh SAFENET adalah puncak gunung es. Catatan kepolisian pastinya lebih banyak lagi, karena terlalu banyak penggunaan pasal-pasal dalam UU ITE, terutama pasal 27 (3) dan 28 (2) yang dijadikan dasar mengajukan pengaduan.
Ketika pertama kali membelajarkan media sosial, saia selalu berupaya menempatkan media sosial serupa pisau. Pisau dapat digunakan untuk meracik masakan yang nikmat dan bermanfaat, pun pisau dapat dimanfaatkan untuk melukai, mencederai hingga menghilangkan nyawa sesuatu. Dua kutub yang penting dipahami oleh pengguna media sosial, yang tidak pernah diletakan dalam persyaratan bagi penggunanya. Pun menjadi sukar, karena sangat jarang pengguna yang benar-benar membaca persyaratan dan penggunaan sebuah aplikasi.
Kata dijawab kata. Inilah bagian yang penting dipahami oleh pengguna media sosial. Tak perlu kata berjawab penjara. Karena kemudian, penjara pun tidak akan memuaskan siapapun, dan memenjarakan hanya akan meninggalkan luka borok yang sukar untuk disembuhkan. Sehingga, tindakan untuk menggunakan pasal-pasal karet di dalam UU ITE tersebut, bukanlah sebuah perilaku yang wajib dimiliki oleh pengguna media sosial.
Media sosial itu tak ubahnya sebagai sebuah medium komunikasi. Yang bisa saja digantikan dengan sumur, jamban ataupun warung kopi. Canda dan caci pada medium sumur, jamban ataupun warung kopi, tak pernah berakhir dengan penjara. Semuanya dapat dipertemukan kembali kepada kemanfaatan berkumpul dan berkomunikasi. Ketika kemudian media sosial menjadi sebuah “senjata” yang memberangus kebebasan berekspresi, maka sejatinya media sosial itu sudah berada pada ruang yang tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Ketidaktepatan proses belajar, telah melahirkan pola komunikasi yang satu arah dan cenderung mengerucut pada pemahaman semu. Pada suatu waktu, di ruang perkuliahan, seorang Profesor berujar pada kami, “Ini hanya di dalam ruangan ini kita berdiskusi secara bebas, karena memang ini adalah ruangnya. Kalau di luar, saya tetap akan menggunakan pemahaman mendasar saya dalam melihat sebuah kondisi.” Saya cukup takjub dengan ungkapan ini. Umumnya, seorang pengajar hanya akan menggunakan satu dalil kebenaran, yang kemudian selalu dinyatakan kebenarannya. Seorang pembelajar, selalu berupaya untuk menghormati kebenaran yang diyakini oleh pihak lain sebagai sebuah kebenaran. Namun di kamar media sosial, sebuah kebenaran adalah sesuatu yang tetap benar, tanpa melakukan penghormatan bahwa kebenaran yang diyakini oleh pengguna lain, juga merupakan kebenaran.
Hal lain yang juga perlu dipahami dengan karakter media sosial hari ini adalah bahwa media sosial akan membawa pengguna pada penggunaan kaca mata kuda yang semakin ketat dan menyempitkan cara pandang. Karena memang, media sosial merupakan sebuah media yang diupayakan untuk membantu proses focusing target pasar. Secara teknis, teknologi yang dimiliki oleh media sosial adalah hal yang seharusnya. Namun ketika pengguna belum menyelami karakteristik media sosial tersebut, maka tanpa disadari, ia sedang dibawa pada sebuah kotak yang semakin lama semakin memfokuskan cara pandangnya, sehingga semakin melupakan, bahwa kebenaran itu selalu beririsan dengan kebenaran yang tak pernah tunggal.
Pun ketika Undang-undang mulai menyediakan ruang agar kemudian dapat “memuaskan” hasrat memenangkan pertarungan kebenaran, maka jembatan ini digunakan dengan suka-ria, tanpa bernah merasa bersalah, dan seolah menjadi penentu bagi kebenaran yang mungkin tidak juga benar. Bahkan kemudian, setiap kata dalam relung media sosial, menjadi sebuah target untuk diinterpretasikan secara tidak bebas, yang sesuai dengan kotak yang sedang ditempatinya.
Pada kawan-kawan pembelajar, saia selalu membuka diskusi tentang media sosial dengan kalimat “ketika kalian menyebut saia ganteng pun, itu bisa saia maknai sebagai sebuah pencemaran nama baik.” Itulah ranah hukum yang terkadang abai untuk dipahami oleh pengguna media sosial. Tak selalu kata yang menurut kita merupakan sebuah kebaikan, diterima sebagai pesan yang menyatakan sebuah keburukan. Begitulah media komunikasi yang disebut media sosial ini.
Lalu apa tindakan sederhana yang bisa dilakukan agar tak terperangkap dalam pembelengguan kebebasan berekspresi? Dulu saia sempat memberikan tips “jangan pernah menunjuk hidung secara langsung, karena UU ITE itu merupakan delik aduan.” Namun saran ini sepertinya sudah tak lagi berguna. Siapa pun, bahkan sesuatu sekalipun, bisa diwakili oleh pihak, sehingga bisa mengadukan bahwa dirinya menjadi bagian yang dihinakan ataupun dicemarkan.
Saran yang tersisa hanyalah, gunakan tombol “block” atau bila tak ingin mengganggu pertemanan, gunakan tombol “mute”, sehingga kemudian tak lagi nampak kata-kata yang dapat mengundang gairah perlawanan. Batasi setiap ungkapan pada ruang pertemanan tertentu, yang memang diyakini sudah memiliki pemahaman yang sama dengan kita. Hingga kata maaf akan mampu menyelesaikan ujaran yang dimaknai berbeda, dan tak perlu merepotkan aparat hukum untuk melakukan penyidikan, pun penyelidikan.
Kembalilah menggunakan media sosial sebagai sebuah media komunikasi ataupun sebagai media pengetahuan. Bahwa negeri ini masih sangat kekurangan bahan bacaan yang memberikan asupan baik bagi pengembangan nalar, daya kritis dan kreatifitasnya. Media sosial merupakan rumah pengetahuan yang akan mampu memberikan kekuatan besar bagi setiap penggunanya. Tak perlulah ia dipergunakan sebagai penampung kegelisahan agar selalu berujar yang diinterpretasikan sebagai kebencian ataupun pencemaran nama baik. Pun harus kembali memposisikan pemahaman, bahwa nama itu akan menjadi baik berdasarkan karya yang dibuat, hingga tak akan menjadi tak baik bilamana ada sebuah ujaran yang seolah menjadikannya tak baik.
Tahun mendatang akan semakin kerap UU ITE ini digunakan untuk membelenggu kebebasan menggunakan media sosial. UU ITE sudah selayaknya menghapuskan pasal-pasal karet. Karena saking melarnya pasal ini, dapat menjadi perangkap yang membunuh generasi. UU ITE berfokuslah pada protokol transaksi elektronik. Soal perlindungan data pribadi, soal transaksi elektronik, serta pengembangan teknologi informatika, hingga mampu memajukan generasi kemudian negeri ini. Bebaskanlah ekspresi warganet. Tak perlu dibelenggu lagi! #GituSih.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply