Saia Plagiat
sangat mudah untuk membunuh generasi penulis: ajukan tuduhan sebagai plagiat. #GituDeh
Kenapa plagiarism itu mudah ditemukan dari banyak yang menulis? Karena pada dasarnya pelajaran menulis dalam pendidikan formal negeri ini membelajarkan cara memlagiasi tulisan, bukan dalam kerangka melahirkan penulis. Kebenaran ilmiah dalam sebuah tulisan pada tugas pembelajaran yang diberikan adalah bilamana ada pernyataan dari penulis sebelumnya, sementara tak pernah ada pelajaran memeras dan menyarikan sebuah tulisan.
Pun kini, pembelajaran mengarang sudah tak lagi melahirkan pengarang. Mungkin bisa jadi karena tulisan yang mengarang akan dicap sebagai kabar burung ataupun haox. Namun begitulah, kemampuan menulis, merangkai tulisan, hingga membangun tulisan telah “dibunuh” di dalam sistem pendidikan nasional. Apalagi budaya membaca telah lebih dulu diberangus secara sistematis.
Tentang plagiat, saia pernah mengajukan gugatan terhadap seorang dosen yang memplagiasi tulisan saia sebagai rekomendasi hasil penelitian yang dilakukannya. Dengan bukti yang masih tersedia, saia melakukan keberatan atas itu kepada penerbit tulisan. Lalu kemudian yang bersangkutan juga menyatakan kebenaran bahwa dia telah memindahkan tulisan saia sebagai tulisan dia. Dan akhirnya penerbit tulisan itu menurunkan tulisan yang bersangkutan disertai dengan pernyataan kesalahan dalam penerbitan tulisan ilmiah tersebut. Saia berikan apresiasi kepada penulis dan pemublikasi tulisan. Saia tuliskan pengalaman saia, dengan pseudonim, agar jadi pembelajaran bagi saia dan semua. Dan selanjutnya, selesai dan kasus ditutup.
Pada seorang pelajar SMA yang sedang menuliskan pemikirannya, bukan dalam tulisan ilmiah, namun sebagai artikel populer, saia merasa senang. Karena sangat sukar untuk menemukan pelajar yang menuliskan opininya, dan memublikasikan secara terbuka melalui media sosial. Pun pastinya, dalam menulis ia memerlukan bahan bacaan. Serupa dalam proses saia belajar menulis, setelah melewati jenjang sarjana, saia melakukan pengutipan 100-300 kata dari tulisan yang telah ada sebelumnya. Namun pastinya, saia menampilkan sumber dan tautan sumber tulisan tersebut. Dengan keterbatasan media sosial dan ngeblog saat itu, menjadi tak terlalu indah dilihat memang, bila menampilkan tautan. Pun terkadang, republikasi tulisan saia itu, menyebabkan tautannya tertinggal. Namun, pada blog saia tetap tertaut sumbernya.
Untuk menulis, membutuhkan membaca. Apa yang dilakukan siswi SMA tadi, pastinya hasil membaca. Hanya sayangnya, ia belum berpikir untuk membuat blog untuk menampung tulisannya, maupun review tulusan yang dibuatnya, ataupun menyimpan tulisan yang disukanya. Yang terpenting dari proses “pembunuhan” penulis generasi Z ini adalah persekusi 2.0 yang dilakukan warganet, yang bisa saja menghentikan kelahiran penulis negeri ini. Semoga tidak dan siswi terrsebut mampu melampaui kejamnya media sosial.
Kerap saia menemukan generasi X dan Y, yang sudah melampaui waktu bekerja yang menghasilkan tulisan, malah tak cakap dalam menulis. Pun terkadang gagal untuk menyarikan sebuah tulisan, termasuk untuk membangun sebuah kesimpulan sederhana. Lebh jauh, kerangka berpikir logis pun tak dimiliki. Hasilnya, media sosial membentuknya menjadi karakter penulis singkat dan responsif. Dan bila sumbunya terlalu pendek, termasuk tak punya keinginan membaca, berbuah pada celoteh kosong tak berpondasi. Gampang sekali diruntuhkan.
Sebagai pengajar pada sebuah kampus, saiapun sangat berat dalam menerapkan anti-plagiarsim. Kebiasaan ketidakpercayaan diri mahasiswa dalam menjawab pertanyaan, menjadikan mereka lebih menyakini jawaban milik temannya. Pun berlaku hingga menjawab quis hingga ujian. Ketika dikomplain karena tak memberikan nilai pada jawaban plagiat, dihadapkan dengan permohonan permakluman. Pun pernah didebat dengan pernyataan bahwa itu benar tulisan sendiri, hingga saia harus menjelajah untuk menemukan tulisan serupa, hingga setelahnya ia mengakui penulisan ulang dari sebuah sumber.
Saia pun, masih kerap melakukan plagiasi, apalagi pada penulisan berulang. Keterbatasan kerja otak dan kemalasan, telah menyatukan kemampuan mengetik yang kian menurun. Pun juga, lebih dari sepuluh tahun sebagai notulis, telah membentuk kerja jari untuk bergerak menuliskan apa yang disampaikan dan dikatakan oleh yang berbicara. Plagiasi adalah proses dalam pembelajaran menuliskan pemikiran. Berhentilah membunuh keinginan seseorang untuk belajar menulis, karena negeri ini masih membutuhkan lebih banyak penulis.
Bilamana menemukan plagiarism, cukuplah untuk mengingatkannya. Berbeda dengan penulisan pada jurnal ataupun kerangka akademik, karena ada hukum yang berlaku di atasnya terhadap kasus plagiat. Dan ingatkan juga saia, bilamana semakin menyenangi plagiarism. #GituSih
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply