serapan resapan
Keriuhan ibukota negeri terkait dengan dibuatnya sumur resapan pada berbagai jalan dan tepinya sudah mulai menyepi. Proyek sumur resapan terkesan telah dihentikan. Mungkin bilamana tak berkaitan dengan situasi kepolitikan, proyek-proyek seperti ini tak akan pernah menjardi riuh. Hingga kemudian, diungkaplah besaran anggaran yang diberikan kepada pembuatan sumur resapan tersebut. Anggaran publik harus diserap, maka genangan diresapkan, hingga kenangan melekat pada warga.
Sumur resapan, secara teori dan praktik, diharapkan mampu menjadi salah satu jalan ninja untuk mengurangi aliran air permukaan, yang menjadikan genangan dapat dikurangi, hingga tak menjadi banjir. Pendekatan dengan membuat penahan banjir secara fisik ini selalu menjadi pilihan dalam upaya mengurangi banjir. Pun terkadang, pendekatan ini tak terlalu murah juga, hingga tak serta-merta menyelesaikan permasalahan banjir. Namun kemudian, tetap saja, pendekatan ini digunakan. Entah mengapa.
Sudah sangat banyak kajian pun teori yang digunakan untuk mengatasi permasalahan banjir perkotaan, yang tak jua menyelesaikan masalah. Pun kajian sosial budaya telah dilakukan. Namun kemudian aksi yang menyeluruh, serta menggunakan pendekatan spasial yang terintegrasi, belum cukup dilakukan. Pendekatan sosial-budaya dalam mengurangi banjir, selalu didekati dengan menempatkan sampah sebagai isu utama. Historis lansekap belum terlalu diurai dengan baik. Kultur sungai pun menjadi permakluman, yang bila ditarik garis waktu lebih jauh, kultur sungai tidak menjadikan aliran sungai menyempit, karena bangunan diletakkan pada sempadan, bukan di atas sungai ataupun saluran air.
Pada satu waktu, berbagi cerita dengan kawan-kawan yang mengembangkan pendekatan ekosistem dan lingkungan hdup pada pendidikan formal. Demi meraih penghargaan sekolah berwawasan lingkungan, sekolah yang berada di ekosistem gambut, kemudian membuat biopori pada beberapa tempat di lingkungan sekolah. “Kan sesuai pedoman, ada biopori, jadi ya kami buat, ” ujar pengelola sekolah. Pada sekolah lain, satu kotak kecil tanah berair, serupa kolam, berlumpur yang ditanam padi, pada sekolah yang berada pada puncak perbukitan. “Kalau ada sawah, kami dapat penilaian telah melakukan praktik lingkungan, ” ujar pimpinan sekolah. Pada sekolah dasar lain, bertemu dengan pepohonan Barito di samping ruang kelas. “Sudah tahu kalau buah ini digunakan untuk meracuni tikus?” tanyaku. “Iya kah?” jawab seorang guru.
Namun lupakanlah praktik-praktik pendidikan lingkungan hidup, yang dikonversi menjadi penghargaan adiwiyata oleh kementerian. Pada fase awal pelaksanaannya, semua hanya berbasis pada teks yang harus dipraktikkan sekolah. Tak ada sebuah kaji sederhana oleh sekolah, untuk menilai ekosistem lingkungan sekolah, yang kemudian menjadi proses pembelajaran untuk menemukenali dan mempraktikkan tindakan ekologi, sosial dan budaya. Sekolah pun saat itu masih pada tahap tiru, tidak untuk menjadi wadah melatih cara berpikir. Yang diutamakan adalah sebuah kehormatan atas penghargaan yang akan diterima. Semoga sudah ada perbaikan dalam pengembangan sekolah yang lebih berwawasan ekologi, sosial dan budaya.
Apa yang bisa dipelajari dari dua hal yang berjalan pada ranah berbeda, pada pemerintah dan pada lembaga pendidikan. Sistem yang dipraktikkan saat ini masih lebih pada “meniru”. Tak terlalu berupaya untuk, setidaknya, melakukan proses ATM (amati, tiru, modifikasi). Pun untuk melakukan proses penciptaan praktik baru, atau setidaknya melakukan pemilihan yang lebih baik terhadap pilihan yang disiapkan.
Pada sebuah kota, yang akan lebih dekat dengan ibukota negeri, mendiskusikan banjir bukan lagi hal yang menarik. Daya adaptif warga sudah pada tingkatan “biasa aja tu“. Ungkapan “pian hanyar kah di sini, ” menjadi hal yang diujarkan ketika ada yang mempertanyakan banjir di kota ini. Tak mudah. Master plan atau rencana induk banjir pernah dibuat. Rencana induk drainase pun telah dibuat. Disertasi, tesis, hingga skripsi sudah beberapa yang disusun. Apakah banjir menjadi masa lalu?
Penyiapan data yang baik menjadi syarat untuk menyelesaikannya. Bukan sekadar tutupan hutan dan lahan. Membaca sosio-kultur dengan baik, juga masih diperlukan. Walaupun, tanpa keduanya, tetap bisa disiapkan langkah jangka pendek. Proyek memperbesar gorong-gorong dan saluran air sudah dilakukan. Walaupun masih banyak yang hanya sekadar membeton dan sudah. Tak melihat lagi ke mana air akan mengalir, seolah kota ini tanpa gravitasi. Polder yang dibangun sekadar menjadi kolam air, dan jarang sekali berfungsi sebagai polder, yang akan menyimpan limpasan air untuk sementara. Kembali pada awal tulisan ini, serapan jauh lebih diutamakan. Belum terlalu baik indikator dampak proyek dilakukan, karena memang indikator statistik yang dibangun, tidak terlalu menyasar pada dampak, hanya pada output sub-kegiatan.
Iklim dan perubahannya pun sekarang menjadi salah satu faktor yang perlu dihitung kembali. Jarak bulan kering dan bulan basah, serta intensitasnya, menjadi data penting dalam menentukan ruang yang disiapkan untuk resapan. Teori minimal tiga puluh persen daerah aliran sungai harus bertutupan hutan, sudah usang. Karakteristik tanah, topografi, dan karakteristik iklim merupakan faktor yang perlu diperhitungkan. Skala peta harus lebih menuju pembacaan yang lebih detail. Maka benarlah bahwa dalam menentukan kawasan dilindungi pada sebuah ekosistem daerah aliran sungai, diperlukan kajian teknis dengan tingkat kedetailan yang lebih baik.
Pun pada akhirnya, banjir memiliki pilihan dalam menikmatinya. Melakukan mitigasi ataukah mempersiapkan daya adaptasi. Walau keduanya bukan untuk dipilih. Banjir dan ragam bencana lainnya telah menjadi hal yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, sebagai standar pelayanan minimal, agar warga dapat menjalankan kehidupan yang lebih layak. Meletakkan perencanaan pembangunan yang holistik, integratif-tematik dan spasial, yang sudah diletakkan pada peraturan, sudah waktunya diterapkan dengan benar. Membaca wilayah, baik desa, kota maupun kabupaten, penting dilakukan, sebelum kemudian mengalokasikan anggaran publik padanya. Mengatasi banjir kerap menjadi janji yang disampaikan setiap lima tahun sekali. Sederhananya, janji politik setidaknya dapat dipenuhi, dan tak lagi menjadi janji pada periode politik berikutnya. #gitudeh.
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply