#SmartLiving: Ruang Bermain Bagi Anak
Sebelumnya saia agak malas untuk menelusuri perkembangan ibukota negeri, karena pastinya mereka bisa membangun lebih dengan ketersediaan anggaran dan dukungan dari pemerintah pusat. Pun politik gusur atas nama ruang terbuka hijau, yang kemudian menyerahkannya pada privat, telah cukup lama dipersiapkan. Namun, membaca pengubahan cara pandang warga terhadap lingkungan sekitar, yang juga membawa pengubahan perilaku hingga kebiasaan, menjadi hal penting, yang mungkin ini arah yang benar menuju Kota Cerdas.
Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, dengan mengubah wajah kota dan memanfaatkan lahan “tidur” kota, melahirkan warna baru bagi kondisi sosial warga. Dan melibatkan dana privat melalu pemasangan iklan, tentunya menjadi pilihan di saat defisit anggaran publik. Di luar bahwa menggusur yang tak berkeadilan tentu masih menjadi pelerjaan berat bagi kota ini. [1] [2]
Model pengembangan ini juga terjadi di Surabaya, dengan mereklamasiĀ Tempat Pembuangan Akhir Sampah menjadi Ruang Terbuka Hijau. Dimana kemudian ini menjadi wadah rekreasi baru bagi warga, dan juga sebagai destinasi bertemu dan berkumpul bagi warga.
Membangun ruang publik di tengah permukiman warga, juga akan mendorong desentralisasi destinasi. Tak harus berkumpul dan bertemu di pusat keramaian, maka warga, utamanya anak-anak, memiliki tempat bermain baru. Selanjutnya, interkasi sosial dapat dibangun, pun terhadap edukasi kota, mulai dari urusan bencana, gaya hidup hijau, ketertiban, hingga urusan keluarga berencana.
Inovasi sederhana ini merupakan kanal baru bagi kota untuk mendekatkan peemerintah dengan warganya. Pun ketika gagasan @tamanbercerita dimulai, kebutuhan ruang publik menjadi trigger utama. Agar ada wadah berkumpul dan bersosialisasi, dan kemudian menjadikannya sebagai wadah berkeluh yang dapat menjadi ruang musyawarah dan negosiasi pembangunan.
Intinya, kota butuh visi bersama yang dipimpin oleh kepemimpinan yang akuntabel. Tak butuh pemimpin yang merakyat, asal kemudian siatem layanan pemerintah kepada punlik bisa terhubungkan. Dan yang menarik dari keberadaan ruang publik adalah menghidupkan kembali keguyuban hungga berinuq warga. Mungkin saja kebudayaan lokal akan kembali hadir, dari sekadar mahalabiu hingga mencari kutu.
Menggunakan standar ramah anak, sebagai standar minimal juga merupakan sebuah keharusan. Dengan memastikan sebuah kawasan menjadi ramah anak, maka itu akan menjadi ruang yang ramah bagi semua. Pun tentunya cara pikir ini tak sekedar bahwa tempat itu tersedia bagi anak, namun juga harus menempatkan kawasan tersebut aman, nyaman, dan merupakan wadah mengembangkan pembelajaran dan kreativitas bagi anak.
Ketika jamban sudah tak lagi representatif dari ragam aspek, maka warga butuh wadah bermain dan berkumpul. Smart living bisa dimulai dari ini. Menjadikan warga lebih sehat, lebih aman dan nyaman, pun lebih berkolaborasi. Hanya tugas terberat adalah mengembalikan kultur memiliki kota, yang tentunya membutuhkan waktu yang tidak sesaat. Namun setidaknya, andai saja Samarinda menempatkan ruang terbuka hijau bukan sebagai beban, namun juga mengembangkan ruang publik terpadu yang ramah anak, maka kota akan menjadi lebih cerdas. #GituSih
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply