Startup atau Enddown
Kemarin ditunjukkan lagi sebuah mockup perusahaan baru keuangan kekinian. Perusahaan ini mencoba menjawab kegelisahan individu pendirinya, untuk memperoleh jalan berbagi sesuai dengan cara keyakinan yang dimiliki. Sangat menarik cara pandangnya di awal. Pertanyaan pertama yang masih belum terjawab adalah apakah benar sesuai dengan yang diharapkan? Bagaimana proses bisnisnya untuk menjawab satu tahapan yang memang wajib, dengan teknologi komunikasi yang ada. Dari sisi ini saia menyampaikan “jalankan versi offline dulu, sampai bertemu dengan modelnya. Ini langkah penting agar teknologi tak terlalu rumit untuk mengikutinya serta melakukan perubahan kemudian.”
Dari sisi target pengguna, saia kemudian menemukan kesalahan pemilihan teknologi terhadap pilihan target pengguna. Pengguna layanan adalah kelas yang tidak familiar dengan teknologi gadget yang dipilih. Perlu ada edukasi yang kuat untuk membawa hal ini, dan tentunya, bukan investasi yang sedik untuk mempertemukan pengguna dengan pemberi layanan. Dari sisi ini, saia kembali menyampaikan “gunakanlah teknologi gadget paling sederhana, SMS, karena itulah teknologi yang dikuasai oleh target pengguna.”
Pada sisi teknis aplikasi, memudahkan pengguna selalu menjadi mimpi pemberi layanan. Dari sisi pemilihan font, bisa jadi benar, berbau digital, namun perlu dipikirkan bahwa pengguna tak pernah peduli dengan bentuk huruf. Warna akan lebih mempengaruhi pengguna. Itulah mengama warna merah, biru dan kuning, mendominasi dalam tampilan hampir sebagian besar aplikasi. Ada nilai dibalik warna-warna itu. Pun pengguna hanya ingin tahu apa kelebihan layanan, bagaimana performa layanan, apa manfaat keterlibatan, serta bagaimana caranya melibatkan dalam layanan. Hal sederhana inilah yang penting berada di tampilan pertama sebuah aplikasi yang berinteraksi dengan pengguna. Serta kepercayaan menjadi kata kunci. Bagaimana kepercayaan ini bisa dibangun? untuk kota ini, kepercayaan dibangun dengan menyajikan bahwa benar kantor pemberi layanan itu ada. Sehingga komentar saia terhadap sisi ini, saia menyampaikan “Mulailah dengan keberadaan kantor dan aktivitas yang berjalan secara offline. Relationship dengan pengguna bisa dibangun dengan SMS, karena itulah target penggunanya.”
Pun serupa dengan dua Startup lainnya, yang kemudian lebih menginvestasikan waktunya pada teknologi, sehingga melewatkan masa pengujian model bisnis. Hingar bingar event berbagi startup yang sudah berevaluasi menjadi perusahaan, menjadikan para starter ingin segera melampaui tanjakan pertama. Melupakan kapasitas dan basis perhitungan, yang terkadang berpegang pada slogan “risiko itu bagian dari bisnis.” Yang pastinya benar, bilamana ada set perangkat yang menjadi pengaman ketersungkuran. Bila tidak ada, maka menjadi penting untuk berhitung risiko vs kapasitas, sehingga tak terlalu sakit bila tejungkang.
Saia memang bukan pelaku bisnis. Saia hanya mengikuti ragam model investasi bisnis. Pada sebuah koperasi digital yang membagi gadget, pada pelaku budidaya, pada organisasi non pemerintah, pada aktivis. Pola-pola model bisnis yang dibangun sangat memberikan gambaran jelas, bagaimana kemudian kesuksesan dan kegagalan itu berlangsung. Mulai dari ketidak konsistenan konsumen memberikan pembayaran yang kemudian dimaklumkan, diskon yang berlebih karena teman, over komitmen yang tak disertai dengan penguatan pembangunan kepercayaan, ketidakberanian menentukan margin manfaat, bertarung pada risiko yang tak diukur, hingga membangun kekuatan dengan menggandeng kelompok tertentu. Pilihan-pilihan model bisnis sangat bergantung pada rasa dan mimpi yang ingin dibangun. Pun pada akhirnya Startup bertumbangan dan menjadi Enddown. Beruntunglah bila kemudian masih ada kasur empuk yang menahan beban gravitasi. Bila tidak? Pada pesbuk akan berkeluh. #huray #GituSih
Related
1 comment
Leave a ReplyCancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
usaha tidak dikerjakan sendirian, walau diawal harus dikerjakan sendiri itu ada waktunya, waktu untuk belajar menjadi pemimpin yg membawahi puluhan bahkan mungkin ribuan orang, sebaiknya membuat tim yg benar-benar berbeda skill dan kemampuan namun tetap sama dalam visi bisnis. kebanyakan kita bikin bisnis memiliki kesamaan skill yg akhirnya seperti hanya perkumpulan orang yg punya hoby yg sama yg akhirnya miskin sudut pandang bisnis yg dibutuhkan oleh tantangan yg dihadapi.
Benar adanya perencanaan penting, dan tool perencanaan sdh cukup banyak disediakan, satu saja isilah dengan jujur logika dan intuisi bisnis yg segar, tdk dengan nafsu yg penting jadi “CEO”. setelah itu lakukanlah dengan fokus, karena ruang hampa perjuangan ada di sisi dimana kamu sendirian ditengah kompetiter yg juga mencari mangsa yg sama. #ItuSih