Banjir #Samarinda dan pondasi keilmuan banjir
Setelah datangnya curah hujan yang tak biasa, yang mengakibatkan meningkatnya aliran air permukaan pada beberapa wilayah kota Samarinda, maka sebagian dari pelayan publik sudah menyatakan ketidaksanggupannya untuk memberikan jawaban atas situasi tersebut. Pun ragam tanggapan diberikan hanya menjadi sebuah etalase bagi sebuah upaya yang seolah ingin menyelesaikan banjir.
Pada sebuah ruang, di pusat pelayan publik Kota Samarinda, berkumpul beberapa kawan, yang ingin sebuah perubahan mendasar bagi kota ini. Disinilah kemudian mempertemukan dengan seorang aparatur sipil negara, yang memiliki latar keahlian hidrologi, lebih khusus pada hidrolika. Sebuah cabang keilmuan hidrodinamika yang tak banyak kampus menyediakan wadah belajarnya. Bahkan saat ini, sebagian telah dialihkan pada jenjang pasca sarjana.
Pun di negeri ini, telah ada satu badan terkait hidrodinamika, namun masih terlalu sibuk mengurusi daya apung kapal dan teknologi kapal selam. Sehingga menjadi wajar bahwa urusan banjir dijawab oleh bidang teknologi pencemaran lingkungan. Pun demikian halnya untuk teknologi sumur resapan.
Pada sesi ngobrol singkat itu, saia menemukan pencerahan jawaban teknologi yang harusnya diterapkan kota untuk menjawab soal banjir kota. Hidrolika menjadi dasar teknologi ini. Perilaku aliran air, baik mikro maupun makro penting untuk dipahami, sehingga kemudian, pendekatan teknis dan sosial yang ingin digunakan, akan benar-benar memberikan jawaban. Rumus-rumus yang digunakan dalam menghitung perilaku air pun, terus berkembang dan dapat digunakan sebagai pendekatan yang akan dilakukan. Sehingga setiap arah gerak air dapat benar-benar dikendalikan.
Sidin berulang kali berujar, “Sejak awal, saya tidak sepakat dengan pembangunan polder ini dan itu. Di banyak tempat, polder tak pernah dibangun di tengah kota. Kalaupun ingin dibangun, letakkan pada outlet, karena untuk fungsi pengendalian banjir, diperlukan penampungan sebelum kemudian dibuang pada aliran sungai.” Pun sidin ternyata juga selalu mengkritisi pembangunan sistem pengendali banjir yang menyatu dengan saluran pembuangan limbah domestik, hingga pada desain teknis yang menyiku, sehingga menyebabkan hanya sebagian aliran yang dapat mengalir dengan benar.
Pertanyaan saia sederhana pada sidin, “Lalu mengapa gagasan itu tenggelam?” Sidin cuma tersenyum, “Kan sudah tau jawabannya“. Ya, seolah benar saia tahu jawabannya, hingga saia memperoleh cerita soal secarik kertas kecil di saat proses persiapan pembangunan beragam sistem pengendali banjir. “Lalu dimana Dokumen Master Plan Penanganan Banjir Samarinda?” saia melanjutkan pertanyaan. Sekejap ruang menjadi hening, saling pandang, dan seolah memberikan jawaban, “Memangnya ada ya?” Ini serupa dengan perbincangan saia berbulan lalu dengan kawan ASN juga, yang juga tak pernah bertemu dengan dokumen itu.
Lalu sidin melanjutkan penjelasan bahwa selama ini kota hanya sibuk membangun pengumpul air, yang kemudian menyebabkan wilayah genangan (baca: banjir) baru. “Harusnya kota membangun sistem pengeringan air,” jelasnya. “Sistem ini dipisahkan dengan saluran limbah domestik dan memiliki sedimen trap, agar bisa mengendalikan sedimen dengan mudah. Dan yang terpenting, jangan ditutup. Pada bagian outletnya, diletakkan pompa, bila diperlukan, untuk membuang air dengan cepat.”
Saia membayangkan, andai saja Pemerintah Pusat bersedia untuk menjadikan Jalan Antasari sebagai wilayah ujicoba sistem ini, tentunya akan menarik. Atau andai saja Pemerintah Provinsi mau mengimplementasikannya pada simpang empat Sempaja ataupun simpang empat Voorfo. Pun ketika Pemerintah Kota berkeinginan kuat untuk menerapkannya pada jalan Pasundan. Tentunya dengan sebuah proyek penyelesaian banjir yang terbuka dan akuntabel, dan tak lagi dikorupsi ataupun dibebani titipan agar dilaksanakan oleh sesuatu.
Banjir itu bukan takdir, hingga tak perlu dimaknakan sebagai ketidakberdayaan pada curah hujan yang seolah meningkat. Banjir itu juga bukan urusan sampah, karena memang tak signifikan relasi antara banjir kota dengan sampah kota. Banjir Samarinda juga bukan karena Samarinda ini sama rendah. Banjir kota ini karena ketiadaan kepemimpinan yang benar-benar ingin menyelesaikan banjir di kota ini. #GituSih
Catatan: Tulisan ini ditulis tanpa persetujuan dari sidin. Bilamana sidin berkeberatan dituliskan, maka tulisan ini akan menghilang dalam hitungan… sepuluh… sembilan… lapan…..
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply