diskursus adat
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kawasan hutan di Indonesia membagi ke dalam tiga kelompok: hutan negara, hutan adat dan hutan hak, maka kemudian menjadi membangkitnya hutan adat, hingga kemudian mulai pengakuan kawasan hutan adat melalui keputusan menteri, yang diberikan oleh presiden. Konsideran keputusan tersebut merujuk pada Pasal 67 UU No. 41/1999, yang menyatakan bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah“. Sementara bersandar pada Permendagri No. 52/2014 dinyatakan bahwa penetapan masyarakat hukum adat dilakukan dengan keputusan kepala daerah. Ini yang kemudian menjadi dasar bagaimana rumitnya proses pengakuan masyarakat adat dan kawasannya.
Dalam bagian penjelasan UU No. 41/1999 tersebut disebutkan:
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
- masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
- ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
- ada wilayah hukum adat yang jelas;
- ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
- masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sementara Permendagri menyebutkan identifikasi masyarakat hukum adat, sebagai dasar verifikasi dan validasi sebelum lahirnya keputusan, dilakukan dengan mencermati:
- Sejarah Masyarakat Hukum Adat;
- Wilayah Adat;
- Hukum Adat;
- Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
- Kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Pun dalam peraturan keagrariaan, terdapat syarat pengakuan:
- Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
- terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari- hari, dan
- terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Tiga ranah pengaturan, dimana ketiadaan hukum perundang-undangan yang lebih tinggi, menjadikan ketiganya tidak klop satu dengan lainnya. Ini kemudian mengakibatkan multi-tafsir, dimana kelompok kementerian yang mengurusi kehutanan, yang selalu meyakini urusan agraria itu di luar kawasan hutan, bahwa UU Kehutananlah yang menjadi acuan, sehingga diperlukan Peraturan Daerah untuk pengakuan masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan. Padahal, peraturan agraria, yang juga meliputi wilayah hutan, juga mengatur bahwa dapat diakui dengan keputusan kepala daerah.
ILO 169/1989 dan UN-DRIP, walaupun tidak secara tegas menyebutkan mekanisme pengakuan masyarakat (hukum) adat, menyebutkan prinsip self-determination dan self-identification, yang bermakna pada menentukan sendiri dan swa-identifikasi. Artinya peran negara, yang diwakili pemerintah, cukup dengan membentuk Tim atau Panitia yang bertugas untuk itu, yang kemudian melakukan proses validasi dan verifikasi, melalui bantuan pihak yang memahami sosio-kultur komunitas, untuk selanjutnya memberikan pengakuan dalam bentuk apapun, baik keputusan kepala daerah maupun peraturan daerah.
Dalam hal kemudian, masyarakat (hukum) adat ingin melakukan upaya pengelolaan, dalam hal ini pemanfaatan kawasan adatnya, maka dapat mengacu pada peraturan sektoral, yang berkaitan. Misalnya ketika ingin memanfaatkan hasil hutan, maka dapat merujuk pada pengaturan soal hutan hak. Jadi, UU Kehutanan telah melampaui kewenangannya, dengan mengatur soal penetapan masyarakat (hukum) adat, yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan lainnya.
Namun di luar hal itu, sebuah diskursus menarik telah dihadirkan oleh pemimpin daerah, yang kemudian menempatkan kultur dan adat sebagai frame bekerja dalam pembangunan. Jadi bukanlah semata hanya mengakui keberadaan masyarakat adat, namun juga mengadopsi model pengelolaan dan (mungkin) mekanisme pengambilan keputusan, dalam mengelola kekayaan alam di wilayahnya.
Di luar soal partainya, dan dengan keterbatasan informasi tentang personal, cara pikir rumit seorang kepala daerah, yang mau menempatkan dengan tepat dasar berpikirnya, bahwa pembangunan daerah harus bersandar pada kultur dan adat tempatan, dan keyakinannya akan itu, maka akan menjadikan proses pembangunan dapat lebih beradab, dan harusnya dapat lebih berkeadilan.
Bahwa masyarakat adat bukanlah semata hutan adat, yang kemudian berpikir soal perlindungan. Bahwa melindungi masyarakat adat adalah melindungi model kelola yang berasal dari ekstraksi jangka panjang bagaimana kemudian membagi ruang, membagi waktu, dan membagi kehidupan pada ekosistem, hingga pada membagi nilai dan ekonomi yang mengikutinya. Bahwa dalam nilai, norma, hukum, dan adat yang belum berbentuk pengetahuan eksplisit, maka perlu dimajukan menjadi bagian pengetahuan eksplisit, dan hukum bernegara.
Menyandarkan model pembagian ruang, berdasarkan kosmologi, hidrologi dan ekologi, menjadi pilar keberlanjutan budaya, sosial dan ekonomi jangka panjang. Mengatur kelola pemanfaatan berdasarkan hak yang hidup dan yang berada di alam ruh, akan memberikan keadilan dalam dan antar generasi.
Bahwa ini hanya fatamorgana dan mahalabiu singkat, hanya karena banyak pengetahuan tacit tentang adat dan masyarakatnya, yang tetap berkelana tanpa batas. Dan pengetahuan eksplisit yang telah hadir, cenderung sarat muatan, yang akhirnya menempatkan perjalanan pada rel yang berbeda. Bahwa kemudian euforia pengakuan, harusnya bukanlah semata mempercepat tanpa pernah menempatkan kebebasan menentukan pilihan berkehidupan, pada komunitas yang ditetapkan. #GituSih
Related
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
Leave a Reply