Runtuhnya Mimbar Akademik
Satu semester terakhir ini, saia telah kehilangan jiwa untuk membelajar. Pada semester ini, saia sudah gagal untuk melakonkan peran sebagai dosen yang harusnya mampu membongkar cakrawala berpikir para siswa yang sedang transisi menjadi mahasiswa, agar tak jadi siswa-maha. Saia telah gagal memaknai bisnis pendidikan, sehingga berharap bisa lebih fokus untuk mendirikan pendidikan tinggi bersama dengan mereka yang sevisi.
Seminggu ini, saia menemukan fase keruntuhan mimbar akademik. Setelah pada era Pokemon-Go, sebuah kampus negeri melarang mahasiswanya bermain game virtual, kini pada kampus yang sama, mulai memberlakukan intimidasi, dengan akan diberikannya sanksi pada mahasiswi akibat status facebooknya. Sebuah lembaga pendidikan tinggi, memberikan sanksi atas sebuah pertanyaan, yang bisa jadi karena emosi yang meninggi, tidak membuka ruang komunikasi. Bisa jadi memang tak tersedia ruang kritik dan bertanya.
Mahasiswa yang diintimidasi dengan sanksi, dengan ekspresinya di media sosial, memang bukan pertama terjadi di kampus itu. Pada peristiwa tersebut, sang menteri kemudian memaafkan dan tidak melanjutkan kasusnya di ranah hukum. Kejadian ketika kritik menuai sanksi pada mahasiswa telah terjadi juga di beragam kampus, misal di Semarang, Aceh, dan Jakarta. Dan lebih parah lagi, ternyata proses ini juga berlaku pada penghadangan aksi demo yang ingin dilakukan oleh mahasiswa oleh pejabat kampus yang harusnya berpihak pada kebebasan mimbar akademik.
Berikutnya, saia berpikir berita ini dosen tersinggung dengan ucapak Ahok saat debat pilgub Jakarta adalah hoax. Namun karena ada di media Bisnis.com, saia mencoba menganggap itu adalah benar. Saia coba buka situs pribadinya, tapi belum dapat diakses juga.
“Kalau kita hanya mengatakan membangun, membangun, manusia, manusia tapi tidak ada bangunan benda matinya. Itu namanya teori saja. Itu ngajar, dosen di kampus. Ingin bangun ini, tapi tidak ada actionnya,” kata dia.
Yang punya cara pikir seperti respon dosen atas kalimat tersebut adalah yang sesuai dengan yang disampaikan kalimat itu. Artinya, bahwa dosen hanya bersandarkan pada teori. Kalaupun dosen menjadi menteri, sesuai surat terbuka, bilasaja itu benar, itu bukan sedang mengambil peran pengabdian masyarakatnya ataupun membangun teori baru, itu adalah profesi barunya. Dan kalau kalau benar melakukan pembelajaran dari alam maupun masyarakat, maka akan lahirlah teori baru yang menjadi tulisan di “textbook”.
Saia tidak sedang membela Ahok. Namun bila dosen tersinggung dengan kalimat Ahok, artinya dia kurang piknik. Dan yang coba mengakumulasi kemarahan guru dan dosen dengan kalimat Ahok, juga sedang melakukan pembodohan publik, tidak memiliki jiwa pendidik, dan sedang melecehkan keilmuwan guru dan dosen. Artinya, cara berpikir kritis seorang pendidik dan pengajar, tidaklah akan mudah tersinggung dengan kritik, apalagi kalau cuma dianggap seorang pemuja teori. Karena teori – dosen – society – nature, adalah siklus.
Dan hipotesa saia bahwa ada proses pemusnahan akal-pikir generasi AA, berawal dari pemegang kebijakannya. Undang-undang yang membangun skenario sistem pendidikan nasional yang hanya menyuapi, pun hingga pendidikan tinggi yang hanya meraih gelar kesarjanaan, telah dengan sukses mematikan iklim berpikir kritis anak negeri ini. Kampus telah menjadi pabrik robot intelektual. Sekolah telah menjadi penjara pengetahuan. Dan tak ada ruang dalam pendidikan formal untuk membangun negeri ini menjadi lebih cerdas.
Rangkaian peristiwa itu mengarahkan pada penghancuran mimbar akademik secara sistematis dan terencana. Akhirnya kemudian, resources, utamanya kekayaan alam negeri ini semakin mengalir dengan mudah untuk menyuplai kehidupan di negara utara. Pun kemudian, limbah, sampah dan racun, tersisa di sekitar masyarakat negeri ini, yang pada waktunya membunuh kehidupan.
Kampus harusnya mulai berani untuk berdiri secara mandiri. Membangun teori baru, mengembangkan pengetahuan dari dan untuk warga negeri, dan membongkar cakrawala berpikir generasi. Kampus tak perlu menjadi sebuah menara. Jadikanlah ruang kreativitas dan pencerdasan berlangsung di seluruh sudut ruangnya. Kalaupun mau berbisnis pendidikan, berbisnislah dengan jujur.
Sekolah harusnya mulai menjadi wadah berpengetahuan dan berpendidikan yang menyenangkan. Tak perlu lagi ada pagar yang perlu dilompati, hanya untuk membolos karena pelajaran yang tak mencerdaskan dan tak menyenangkan. Pondasi generasi terletak pada pendidikan menengah. Bila gagal membangun metodologi berpikir di fase ini, maka akan berdampak pada lintas generasi.
Saia berpikir untuk berhenti berpikir. Namun karena terus terpikirkan, maka saia harus berpikir. Tak perlu terlalu serius membaca pikiran saia, karena memang tak ada yang dipikirkan. Jadi, silahkan pikir lagi, apakah menjadi penting pikiran anda dalam bacaan ini. Yang terpenting, ketika mimbar akademik itu mulai runtuh, siapkan membangun yang baru. Gitu sih.
Related
1 comment
Leave a ReplyCancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
aksi alam banjir banjirsmr belajar budaya bukadata cerita kota ekonomi enterpreneurship hutan ide informasi publik internet kampus kebebasan berekspresi keterbukaan informasi konservasi kopi kota cerdas mahakam media sosial mesin pencari musrenbang next pantjasila pendidikan permainan perubahan iklim pokemon politik praktik privasi PrivasiKita REDD safenet samarinda sampah smart city smartcity startup tambang teori UU ITE wirausaha
HidupDosen wkwkwkwkwkwk Siswa-Maha